Boekhandel Tan Khoen Swie, jejak penerbitan lama yang melegenda
Merdeka.com - Bagi generasi muda sekarang tak banyak yang tahu, jika Kota Kediri, sebuah kota kecil yang hanya terdiri dari tiga kecamatan di Jawa Timur ini pernah memiliki orang hebat, bermodal dan memiliki idealisme untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia di awal abad ke-19.
Orang itu justru bukan asli pribumi. Dia keturunan Tionghoa
bernama Tan Khoen Swie. Tak ada yang tahu persis kapan Tan Khoen Swie
dilahirkan. Namun, dari berbagai keterangan keluarganya yang diwawancarai merdeka.com,
diperkirakan ia lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, sekitar tahun 1833.
Gagah, rambutnya panjang dikuncir, berkumis itulah gambaran tokoh yang vegetarian hingga akhir hidupnya sekitar tahun 1953.
Gagah, rambutnya panjang dikuncir, berkumis itulah gambaran tokoh yang vegetarian hingga akhir hidupnya sekitar tahun 1953.
Keterangan Drg Jojo Sutjahjo Gani, cicit Tan Khoen Swie, kakek buyutnya
adalah orang yang ulet dan berpendirian. Sebelum datang ke Kediri berbagai
pekerjaan pernah ia lakukan salah satunya sebagai tukang rakit penyeberangan di
Bengawan Solo.
Karena tekadnya yang luar biasa, selama merantau di Surakarta, Tan
Khoen Swie sering mencuri dengar pelajaran di Sekolah Kesatrian milik Sri Sunan
Pakubuwono di Kraton Surakarta.
"Usahanya mencuri dengar itu akhirnya ketahuan, kemudian oleh
guru yang mengajar di sekolah kesatrian dipanggil dan disuruh ikut
belajar," terang Gani panggilan akrab Drg Jojo Sutjahjo Gani.
Tak banyak cerita bagaimana kisah selanjutnya, Tan menikah dengan
gadis asal Surabaya bernama Liem Gien Nio. Setelah menikah inilah dia mencoba
memulai usahanya di Kediri sebagai penerbit.
Namun, saat itu usahanya tak bisa diandalkan lantaran ketatnya
aturan pemerintah kolonial tentang usaha penerbitan membuatnya memiliki usaha
sampingan, salah satunya berdagang kerupuk, onderdil mobil hingga SPBU.
Penerbit TKS sendiri lahir sekitar tahun 1915, beberapa tahun sebelum Balai Pustaka penerbitan besar di Jakarta yang dipelopori pemerintah Belanda berdiri sekitar tahun 1918.
Penerbit TKS sendiri lahir sekitar tahun 1915, beberapa tahun sebelum Balai Pustaka penerbitan besar di Jakarta yang dipelopori pemerintah Belanda berdiri sekitar tahun 1918.
Boekhandel TKS sendiri merupakan penerbitan yang memiliki tim yang
handal. Tak tanggung-tanggung TKS banyak dibantu oleh penulis-penulis Tionghoa,
seperti Tjoa Boe Sing, Tan Tik Sioe (Pangeran Penang,red), Sioe Lian, Tjoa Hien
Tjioe, dan Tan Soe Djwan.
Selain itu sebagai penerbitan bergengsi yang berada di jantung Ibukota Kediri tepatnya di Jalan Doho yang pernah sebagai pusat kerajaan Kediri, TKS tidak segan-segan mengundang para penulis dari berbagai daerah untuk bekerja sama sebagai mitra.
Selain itu sebagai penerbitan bergengsi yang berada di jantung Ibukota Kediri tepatnya di Jalan Doho yang pernah sebagai pusat kerajaan Kediri, TKS tidak segan-segan mengundang para penulis dari berbagai daerah untuk bekerja sama sebagai mitra.
Pujangga-pujangga terkenal dari Kraton Surakarta seperti Ki
Padmosusastro, R Tanoyo juga ikut merasakan manfaat TKS. Tak terbayangkan,
tanpa TKS mungkin karya-karya besar mereka tak bakalan dikenal masyarakat luas.
Pada zamannya boekhandel TKS merupakan penerbit besar dan ternama, meskipun beroperasi dari kota kecil, Kota Kediri.
Pada zamannya boekhandel TKS merupakan penerbit besar dan ternama, meskipun beroperasi dari kota kecil, Kota Kediri.
Kehadiran penerbitan TKS tentu saja ikut menandai era buku,
menggantikan tradisi tutur yang sebelumnya banyak berkembang di Jawa. Sebuah
era baru dalam penggandaan karya (tulis) yang sebelumnya hanya dikenal dalam
bentuk tedhakan (turunan yang ditulis tangan)
Gatolotjo & Darmogandoel,
buku TKS yang sempat dilarang beredar
Buku lain terbitan Tan Khoen Swie yang dilarang
beredar pada zaman Michael Tanzil, putra bungsu TKS adalah Gatolotjo dan
Darmogandoel. Michael lalu menerbitkan ulang Gatolotjo karangan RM Suwandi,
Surakarta. Pada zaman bapaknya, kulit buku setebal 145 halaman itu bertuliskan
Gatolotjo.
"Anjariosaken Bantahinipun Gatolotjo Tanding
Kalijan Dewi Perdjiwati, Dados Lambang Pamoring Djalu Wanito, Tuwin Dumadosipun
Widjining Menuso".
Buku itu seharga 1,75 gulden. Pada zaman Belanda,
penjualannya aman-aman saja. Tapi di bawah pemerintah orde baru, Gatolotjo
dianggap melecehkan agama.
Buku-buku terbitan Tan Khoen Swie tidak hanya
dikoleksi oleh perpustakaan Kraton Surakarta dan Yogyakarta dan juga
orang-orang lama, namun juga dikoleksi oleh Universitas Groningen Belanda.
Sejarah perbukuan di Indonesia tampaknya tidak
bisa dilepaskan dari peranan kaum minoritas. Ketika itu bangsa pribumi sedang
terjajah hingga banyak di antara mereka tidak mampu baca tulis.
Bahkan begitu terkenalnya Boekhandel Tan Khoen
Swie, dan untuk mengobati rasa kangen karya-karya penerbitan Tan Khoen Swie.
Atas kerja sama dengan Pemerintah Kota Kediri
dibawah wali kota HA Maschut, pada tahun 2006 dan 2008 dicetak ulang kembali
"Serat Babad Khadiri" karya Mas Ngabehi Purbowidjaja dan Mas Ngabehi
Mangoenwidjaja yang diterbitan oleh Boekhandel Tan Khoen Swie pada tahun 1932.
Cetak ulang dalam versi bahasa Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa jawa "Hanacaraka" oleh (alm) Nyonya Siti Halimah Soeparno, mantan guru Bahasa Jawa di SMP Kediri pada 29 Desember 1981.
Meskipun namanya tidak setenar Balai Pustaka, tidak dipungkiri kalau kaum tua sekarang masih mengenal atau mengingat nama Tan Khoen Swie (TKS). Pada zamannya boekhandel TKS merupakan penerbit besar dan ternama, meskipun beroperasi dari kota kecil, Kota Kediri
Cetak ulang dalam versi bahasa Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa jawa "Hanacaraka" oleh (alm) Nyonya Siti Halimah Soeparno, mantan guru Bahasa Jawa di SMP Kediri pada 29 Desember 1981.
Meskipun namanya tidak setenar Balai Pustaka, tidak dipungkiri kalau kaum tua sekarang masih mengenal atau mengingat nama Tan Khoen Swie (TKS). Pada zamannya boekhandel TKS merupakan penerbit besar dan ternama, meskipun beroperasi dari kota kecil, Kota Kediri
Ini buku best seller
penerbitan Tan Khoen Swie yang melegenda
Selain menggeluti dunia bisnis, Tan Khoen Swie
juga aktif di dunia kebatinan dan perkumpulan Kioe Kok Thwan, organisasi
masyarakat Tionghoa di Kediri yang menentang Belanda.
Pada 1935 ia juga menjabat redaktur sekaligus
pemimpin redaksi sebuah majalah bulanan di Kediri yang memuat paham kebathinan
Konghucu, Tao, Buddha Tionghoa berbahasa Melayu.
Militansi Tan Khoen Swie dalam menentang
penjajahan terlihat saat ia menerbitkan buku 'Atoeran dari Hal Melakoeken Hak
Perkoempoelan dan Persidangan Dalem Hindia-Nederland', yang dikarang oleh R.
Boedihardjo, Patih Lumajang, cetakan 1932. Juga buku 'Tjinta Kebaktian pada
Tanah Air', terbit-an 1941.
Penulis sendiri adalah orang yang mendorong Drg Jojo Sutjahjo Gani yang juga cicit TKS untuk membuka kembali ratusan judul buku jejak Boekhandel Tan Khoen Swie setelah hampir 38 tahun tersembunyi di kamar lantai bawah rumah tinggal peninggalan TKS, kala itu tepatnya di tahun 2000.
Penulis sendiri adalah orang yang mendorong Drg Jojo Sutjahjo Gani yang juga cicit TKS untuk membuka kembali ratusan judul buku jejak Boekhandel Tan Khoen Swie setelah hampir 38 tahun tersembunyi di kamar lantai bawah rumah tinggal peninggalan TKS, kala itu tepatnya di tahun 2000.
Sedikitnya ada 400 judul buku jumlah yang sangat
banyak untuk ukuran di masa itu yang tersisa di lantai dasar rumah peninggalan
TKS.
Buku-buku TKS bisa dikategorikan menjadi tiga
jenis berdasarkan huruf dan bahasa yang digunakan, yakni berhuruf dan berbahasa
Jawa, berhuruf Latin berbahasa Jawa, dan berhuruf Latin berbahasa Melayu.
Banyak dari buku-buku itu tergolong best seller
pada zamannya sehingga mengalami beberapa kali cetak ulang.
Sebagian besar buku-buku TKS berupa pengetahuan
populer, seperti tentang oriental, kebatinan, ramalan, primbon, legenda, dan
filsafat.
Misalnya saja kitab horoscop, kitab Rama Krisna,
kekoeatan pikiran, kitab ramalan dan ilmu pirasat manusia, kitab achli
noedjoem, serta alamat ngimpi dan artinja.
Pada masa itu, buku-buku demikian paling banyak
diminati masyarakat Indonesia. Buku-buku itu diterbitkan dalam kisaran 1919
hingga 1956.
Sayang, usaha penerbitan TKS lambat laun
mengalami kemunduran sepeninggal sang pendiri, Tan Khoen Swie (1883-1953).
Usaha penerbitan itu akhirnya diteruskan oleh Michael Tanzil, putra-bungsu TKS
yang meneruskan mengelola penerbitan, Michael tak bertahan lama memegang
penerbitan milik ayahnya hanya hingga tahun 1962-an karena ia harus pindah ke
Jakarta.
Michael Tanzil, adalah seorang arsitek lulusan Illinois Institute of Technology dan pernah menjadi fotografer di Associated Press. Ia juga juga menjadi sahabat Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin saat ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun (1966-1977).
Michael Tanzil, adalah seorang arsitek lulusan Illinois Institute of Technology dan pernah menjadi fotografer di Associated Press. Ia juga juga menjadi sahabat Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin saat ia menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun (1966-1977).
Sepeninggal Tan Khoen Swie, Michael Tanzil selama
itu juga menerbitkan beberapa buku baru dan mencetak ulang beberapa buku lama,
bekerja sama dengan penerbit lain.
"Sejak ditinggal Michael tahun 1962, toko buku ini mulai tidak terurus sekitar 1962, hingga akhir hayat Michael yang meninggal pada 14 Maret 1993," kata Drg Jojo Sutjahjo Gani, cicit Tan Khoen Swie yang kini merawat peninggalan Tan Khoen Swie di Kediri.
"Sejak ditinggal Michael tahun 1962, toko buku ini mulai tidak terurus sekitar 1962, hingga akhir hayat Michael yang meninggal pada 14 Maret 1993," kata Drg Jojo Sutjahjo Gani, cicit Tan Khoen Swie yang kini merawat peninggalan Tan Khoen Swie di Kediri.
Berkat Tan Khoen Swie, rahasia kraton bisa dibaca rakyat
umum
Pergaulan Tan Khoen Swie yang luas dan
pengalamannya yang pernah tinggal di Solo, membawanya bersahabat akrab dengan
Padmosusastro (1843-1926), pujangga keraton yang juga Kepala Perpustakaan Radya
Pustaka dikala itu.
Cahaya terang memulai usaha penerbitan yang lain
daripada yang lain, berkat akses untuk mendapatkan buku-buku di lingkungan
keraton. Bahkan Tan Khoen Swie menjadikan Padmosusastro pentolan dari dewan
redaksi penerbitan Tan Khoen Swie.
Dari sinilah peran penerbit Tan Khoen Swie dalam
penyebaran pengetahuan yang sebelumnya "eksklusif" hanya untuk
kalangan keraton akhirnya bisa dinikmati masyarakat luas. Bahkan pengetahuan
yang rahasia akhirnya bisa dipelajari masyarakat umum.
Ditunjang oleh manajemen pemasaran yang bagus,
hanya dalam beberapa tahun nama Boekhandel Tan Khoen Swie (TKS) sudah sangat
akrab dengan kalangan terpelajar di era pergerakan.
Selain karya orisinil, TKS banyak pula
menerbitkan karya terjemahan dari bahasa Belanda atau Inggris. Bahkan saking
berharap karyanya bisa diterbitkan di Boekhandel Tan Koen Swie, banyak penulis
yang sengaja datang dari Cilacap, Solo, Ngawi, dan kota-kota lain hanya untuk
bernegosiasi dengan TKS.
Bahkan para penulis seperti Padmosusastro tinggal
di rumah Tan Khoen Swie selama berbulan-bulan untuk menulis di ruangan yang
dibangun mirip Klenteng di lantai tiga bangunan rumahnya.
Selain itu para penulis juga disediakan kebun
khusus di belakang rumah yang berdekatan dengan tempat bersemedi yang berfungsi
untuk menggali inspirasi.
Selain Padmosusastro, penulis yang sering menginap di rumah Tan adalah R Tanojo, pengarang terkenal Serat Nitimani, buku yang mengulas rahasia perihal senggama suami-istri.
Yang menarik tempat Tan mengajak para tamunya bermeditasi juga masih ada sekarang. Bentuknya seperti bunker sebuah bangunan setengah lingkaran dengan ornamen lubang di kiri-kanannya, dan diluarnya dijaga dua patung Kie Lin (Hokkian)/Chi Lin (Mandarin).
Selain Padmosusastro, penulis yang sering menginap di rumah Tan adalah R Tanojo, pengarang terkenal Serat Nitimani, buku yang mengulas rahasia perihal senggama suami-istri.
Yang menarik tempat Tan mengajak para tamunya bermeditasi juga masih ada sekarang. Bentuknya seperti bunker sebuah bangunan setengah lingkaran dengan ornamen lubang di kiri-kanannya, dan diluarnya dijaga dua patung Kie Lin (Hokkian)/Chi Lin (Mandarin).