Jumat, 06 Mei 2016

MAKALAH “ IDENTITAS PERADABAN ISLAM DI INDONESIA”




MAKALAH
“ IDENTITAS PERADABAN ISLAM DI INDONESIA”

Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pembimbing : Wasito,M.Pdi


Oleh :
Azizi
NIM : 2013.03.0.0584

INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTI (IAIT) KEDIRI
FAKULTAS DAKWAH PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2014/ 2015
1



KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahnya, makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan Salam tetap kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, kepada sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya yang senantiasa menjalankan sunnah-sunnah beliau.
            Dalam penyusunan makalah ini penulis mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas perkuliahan. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kapada teman-teman yang telah memberikan motifasi belajar dan memberikan ilmunya kepada penyusun, sehingga makalah ini dapat penulis selesaikan.
            Penulis mohon kepada teman-teman satu semester khususnya, dan umumnya kepada para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam makalah ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya makalah yang akan datang.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Kediri,25 maret 2015

                                                                                                            Penulis


2
                                                                                   
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Identitas merupakan bentuk ciri-ciri atau tanda pengenalan diri. Dengan ciri-ciri tertentu tersebut seseorang ingin dikenali oleh orang lain dan orang lain pun dapat mengenali seseorang tersebut. Selain itu, identitas juga sebagai bentuk pengakuan diri, individu yang ingin diakui keberadaannya oleh individu lain; sebuah pengukuhan eksistensi diri. Hal tersebut juga berlaku dalam bentuk skala yang lebih besar seperti kebudayaan masyarakat tertentu berdasarkan tradisi yang ada di dalamnya.
Bila dikaitkan dengan Islam, maka Islam dapat dipandang sebagai salah satu bentuk yang khas dari sebuah identitas, ketika ia membumi dengan kehidupan manusia yang bermasyarakat dalam bentuk tradisi dan kebudayaan. Namun sayangnya, ketika Islam berperan sebagai sebuah identitas yang mengejawantah dalam bentuk budaya dan tradisi, ia cenderung menjadi eksklusif.Eksklusivitas yang dikedepankan oleh masyarakat muslim lebih cenderung disebabkan oleh karena mereka menganggap identitas sebagai akidah bagi kehidupan mereka. Di sinilah bentuk sebuah identitas sering menjadi lahan konflik karena menganggap perbedaan sebagai hal yang tidak seharusnya terjadi.
Oleh karena itu, problem yang ingin dijawab oleh penulis dalam kesempataan ini adalah: peran identitas yang sering dimasukkan dalam wilayah teologi, kemudian menjadi sebuah bentuk keyakinan yang rigid dan menjadi legitimasi bagi tindak kekerasan.

B.Rumusan Masalah
1. Memahami Sejarah Peradaban islam di Indonesia?
2.  Memahami Identitas peradaban islam di Indonesia
3



DAFTAR ISI
Judul   : …………………………………………………..…………………1
Kata pengantar……………………………………………………………....2
BAB  I: PENDAULUAN…………………………………………………..2
A.    Latar belakang………………………………………………………2
B.     Rumusan masalah…………………………………………………...3
Daftar Isi……………………………………………………………4
BAB II : PEMBAHASAN
A.    Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia………………………….5
1.Peradaban islam sebelum kemerdekaan………………………………5
2.Peradaban Sesudah Kemerdekaan…………………………………....10
3.Identitas Peradaban Islam Di Indonesia……………………………....13
BAB III : PENUTUP
A.    KESIMPULAN……………………………………………………16
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...17










4

BAB II
PEMBAHASAN

A.Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia
1.Peradaban islam sebelum kemerdekaan
            Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ke tujuh sampai abad ke delapanmasehi. Ini mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M. Sedang menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai dalam perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345 M. Agama islam yang bermahzab Syafi’I telah mantap disana selama se abad, oleh karena itu berdasarkan bukti ini abad ke XIII di anggap sebagai awal masuknya agama islam ke Indonesia.
            Derah yang pertama-pertama dikunjungi ialah pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di peureulak Aceh Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara. Pesisir Utara pulau Jawa kemudian meluas ke Maluku yang selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit.
Pada permulaan abad ke XVII dengan masuk islamnya penguasa kerajaan Mataram, yaitu: Sultan Agung maka kemenangan agama islam hampir meliputi sebagai besar wilayah Indonesia. Pada tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda datang ke Nusantara untuk berdagang, namun pada perkembangan selanjutnya mereka menjajah daerah ini.Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC, sejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
5

           
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah diterapkan oleh para ulama saat itu.Ketika penjajahan datang, para ulama mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah, sedangkan ulamanya menjadi panglima perang.Potensi-potensi tumbuh dan berkembang di abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah.Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang syair-syairnya berisi seruan perjuangan.Para ulama menggelorakan jihad melawan penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi: Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan ulama dengan adat, contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
            Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar, seorang Guru Besar ke-Indonesiaan di Universitas Hindia Belanda, yang juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah.Dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji, karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.
            Di akhir abad ke-19, muncul ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad Abduh.Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir banyak berperan dalam menyebarkan ide-ide tersebut, diantara mereka ialah Muhammad Djamil Djambek dan Abdul Karim Amrullah.Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915). Pada tahun 1906, Tahir bin Jalaluddin menerbitkan koran
6

pembaruan al-Iman di Singapura dan lima tahun kemudian, di Padang terbit koran dwi-mingguan al-Munir.
Sejak pertengahan abad ke XIX, agama islam di Indonesia secara bertahap mulai meninggalkan sifat-sifatnya yang Singkretik (mistik). Setelah banyak orang Indonesia yang mengadakan hubungan dengan Mekkah dengan cara menunaikan ibadah haji, dan sebagiannya ada yang bermukim bertahun-tahun lamanya.
Ada tiga tahapan “masa” yang dilalui atau pergerakan sebelum kemerdekaan, yakni :
1.Pada Masa Kesultanan
            Daerah yang sedikit sekali disentuh oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera Barat dan Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama, social dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut agama islam itu telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Dikerajaan tersebut agama islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu buktinya yaiut banyaknya nama-nama islam dan peninggalan-peninggalan yang bernilai keIslaman.
            Dikerjaan Banjar dengan masuk islamnya raja banjar. Perkembangan islam selanjutnya tidak begitu sulit, raja menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya membawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan islam. Secara konkrit kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya Mufti dan Qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang Fiqih dan Tasawuf.Islam di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai kebudayaan jawa, ia banyak memberikan kelonggaran pada sistem kepercayaan yang dianut agama Hindu-Budha. Hal ini memberikan kemudahan dalam islamisasi atau paling tidak mengurangi kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Wali Songo sangatlah berjasa dalam pengembangan agama islam di pulau Jawa.
7


            Menurut buku Babad Diponegoro yang dikutip Ruslan Abdulgani dikabarkan bahwa Prabu Kertawijaya penguasa terakhir kerajaan Mojo Pahit, setelah mendengar penjelasan Sunan Ampel dan sunan Giri, maksud agam islam dan agama Budha itu sama, hanya cara beribadahnya yang berbeda. Oleh karena itu ia tidak melarang rakyatnya untuk memeluk agama baru itu (agama islam), asalkan dilakukan dengan kesadaran, keyakinan, dan tanpa paksaan atau pun kekerasan.
2. Pada Masa Penjajahan
            Dengan datangnya pedagang-pedagang barat ke Indonesia yang berbeda watak dengan pedagang-pedagang Arab, Persia, dan India yang beragama islam, kaum pedagang barat yang beragama Kristen melakukan misinya dengan kekerasan terutama dagang teknologi persenjataan mereka yang lebih ungggul daripada persenjataan Indonesia. Tujuan mereka adalah untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan islam di sepanjang pesisir kepulauan nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia untuk menjalin hubungan dagang, karena Indonesia kaya dengan rempah-rempah, kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut.
            Waktu itu kolonial belum berani mencampuri masalah islam, karena mereka belum mengetahui ajaran islam dan bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem social islam. Pada tahun 1808 pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para bupati agar urusan agama tidak diganggu, dan pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara dibidang perkawinan dan kewarisan.
            Tahun 1820 dibuatlah Statsblaad untuk mempertegaskan instruksi ini.Dan pada tahun 1867 campur tangan mereka lebih tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada bupati dan wedana, untuk mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun yang bertentangan dengan peraturan Gubernur Jendral.Lalu pada tahun 1882, mereka mengatur lembaga peradilan agama yang dibatasi hanya menangani perkara-perkara perkawinan, kewarisan, perwalian, dan perwakafan.
8
            Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai
pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik islamnya. Dengan politik
itu, ia membagi masalah islam dalam tiga kategori :
a. Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan
agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b. Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adapt kebiasaan.
c. Bidang politik
Orang islam dilarang membahas hukum islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.
3. Pada Masa Kemerdekaan
            Terdapat asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini sebagian dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini. Demikian pula halnya dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini, tentu sangat dipengaruhi masa lalunya.Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut versi islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri ini.
            Seperti halnya pada masa penjajahan Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, islam sebagai kekuatan ibadah (sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan politik perlu dibatasi.
9


Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, islam telah diberi tempat tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama dalam dunia politik. Sedangkan pada masa
Orde Baru, tampaknya islam diakui hanya sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan negara.
2. Peradaban Sesudah Kemerdekaan
1. Pra Kemerdekaan
            Ajaran islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Berdasarkan pengalaman melawan penjajah yang tak mungkin dihadapi dengan perlawanan fisik, tetapi harus melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan organanisasi.Seperti :
- Budi Utomo (1908) - Taman Siswa (1922)
- Sarikat Islam (1911) - Nahdhatul Ulama (1926)
- Muhammadiyah (1912) - Partai Nasional Indonesia (1927)
- Partai Komunis Indonesia (1914)
Menurut Deliar Noer, selain yang tersebut diatasmasih ada organisasi islam lainnya yang berdiri pada masa itu, diantaranya:
- Jamiat Khair (1905)
- Persyarikatan Ulama ( 1911)
- Persatuan Islam (1920)
- Partai Arab Indonesia (1934)
            Organisasi perbaharu terpenting dikalangan organisasi tersebut diatas, adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan, dan Nadhatul Ulama yang dipelopori oleh K.H Hasyim Asy’ari.Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah, maka Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan suatu federasi islam yang baru yang disebut
10
Majelis Islan Ala Indonesia ( Majelis Islam Tertinggi di Indonesia ) yang disingkat MIAI, yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937.
            Masa pemerintahan Jepang, ada tiga pranata sosial yang dibentuk oleh pemerintahan Jepang yang menguntungkan kaum muslim di Indonesia, yaitu :
a. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda, yang dipimpin oleh Hoesein Djayadiningrat pada 1 Oktober 1943.
b. Masyumi, ( Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943, Tujuan didirikannya adalah selain untuk memperkokohkan Persatuan Umat Islam di Indonesia, juga untuk meningkatkan bantuan kaum muslimin kepada usaha peperangan Jepang.
c. Hizbullah, ( Partai Allah atau Angkatan Allah ) semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin. Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional
d. Indonesia (TNI).
2. Pada Masa Penjajahan
            Dengan datangnya pedagang-pedagang barat ke Indonesia yang berbeda watak dengan pedagang-pedagang Arab, Persia, dan India yang beragama islam, kaum pedagang barat yang beragama Kristen melakukan misinya dengan kekerasan terutama dagang teknologi persenjataan mereka yang lebih ungggul daripada persenjataan Indonesia. Tujuan mereka adalah untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan islam di sepanjang pesisir kepulauan nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia untuk menjalin hubungan dagang, karena Indonesia kaya dengan rempah-rempah, kemudian mereka ingin memonopoli perdagangan tersebut.
Waktu itu kolonial belum berani mencampuri masalah islam, karena mereka belum mengetahui ajaran islam dan bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem social islam. Pada tahun 1808 pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para bupati agar urusan agama tidak diganggu, dan pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara dibidang perkawinan dan kewarisan.
11

            Tahun 1820 dibuatlah Statsblaad untuk mempertegaskan instruksi ini.Dan pada tahun 1867 campur tangan mereka lebih tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada bupati dan wedana, untuk mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun yang bertentangan dengan peraturan Gubernur Jendral.Lalu pada tahun 1882, mereka mengatur lembaga peradilan agama yang dibatasi hanya menangani perkara-perkara perkawinan, kewarisan, perwalian, dan perwakafan.
Apalagi setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik islamnya.
Dengan politik itu, ia membagi masalah islam dalam tiga kategori :
a. Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b. Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adapt kebiasaan.
c. Bidang politik
Orang islam dilarang membahas hukum islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.





12

3. Pada Masa Kemerdekaan
            Terdapat asumsi yang senantiasa melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini sebagian dibentuk oleh masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini. Demikian pula halnya dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini, tentu sangat dipengaruhi masa lalunya.Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut


versi islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri ini.
            Seperti halnya pada masa penjajahan Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, islam sebagai kekuatan ibadah (sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan politik perlu dibatasi. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, islam telah diberi tempat tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama dalam dunia politik. Sedangkan pada masa Orde Baru, tampaknya islam diakui hanya sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan negara.
B.Identitas Peradaban Islam Di Indonesia
            Identitas merupakan bentuk ciri-ciri atau tanda pengenalan diri. Dengan ciri-ciri tertentu tersebut seseorang ingin dikenali oleh orang lain dan orang lain pun dapat mengenali seseorang tersebut.
Iman kepada Tuhan hanya akan bermakna jika dilanjutkan dengan tindakan. Dengan begitu, iman dapat dikatakan bermakna ketika terjadi sebuah proses yang menjamin tersebarnya kabaikan, keadilan, dan kesejahteraan sosial. Dengan begitu, ketika terdapat pertanyaan, Islam dibangun atas apa? Maka jawabannya adalah iman (ilmu) dan tindakan (amal).Karena, identitas tercermin dalam keimanan dan tindakan seseorang.
13

Namun yang sangat disayangkan berkaitan dengan masalah teologi, sekalipun doktrin tauhid tidak pernah menghilang dari perjalanan peradaban Islam, aktualisasinya dalam berbagai dimensi kehidupan tidak selalu menjadi kenyataan.Kepercayaan kepada ke-Esa-an Allah (iman-tauhid) belum tentu terkait dengan perilaku umat dalam kiprah kesejarahannya. Dengan kata lain, iman dapat saja menjadi iman yang mandul. Padahal bagi muslim generasi awal, iman merupakan kekuatan penggerak sejarah yang dahsyat. Kekuatan itu bukan untuk menghancurkan peradaban lain, tapi untuk mengarahkannya kepada tujuan dan nilai kemanusiaan yang luhur.
            Akan tetapi di lain pihak, saat ini masyarakat muslim dihadapkan dengan pilihan yang sulit antara identitas pluralistik (seperti “Nasionalis Muslim Indonesia” atau “Sosialis Muslim Arab”) dan identitas Islam yang murni. Identitas-identitas pluralistik memiliki resiko terjerumus pada banyaknya melakukan akomodasi dengan unsur-unsur lain yang pada akhirnya aspek Islam yang unik itu hilang dan identitas itu bahkan menjadi semakin non-islami. Di sisi lain, kecenderungan monolitik untuk menegaskan kembali nilai-nilai Islam hanya akan mengalienasi gerakan-gerakan ini dari jaringan koalisi nasional warga negara yang lebih luas. Bila terisolasi dari koalisi-koalisi itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan dan eksklusif, sehingga melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu. Tantangan pada saat ini adalah menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada Islam dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan kelompok yang lebih besar dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain dan keprihatinan global.


14


            Penyusupan nilai-nilai islami dalam dunia politik merupakan bentuk identitas tersamar, dengan pengertian bahwa meski tidak diberi embel-embel “Islam”, namun dapat diketahui berdasarkan tindakan politiknya bahwa mereka mengusung nilai-nilai (idea-moral) islami. Namun sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya, identitas Islam ditampilkan secara jelas, akan tetapi dibalik identitas tersebut tersembunyi ambisi politik untuk meraih tujuan tertentu demi melanggengkan legitimasi kekuasaan dan kesenangan diri pribadi. Dengan begitu, Islam sebagai identitas hanya dijadikan sebagai kendaraan tunggangan untuk dapat mencapai kepentingan kelompok tertentu.
Berdasarkan hal di atas, ketika Islam berperan sebagai identitas, apakah nilai-nilai kemanusiaannya atau atribut fisiknya yang akan lebih dikedepankan?Dengan begitu, dapat terlihat bahwa problem utama yang terjadi antara Islam dan identitas adalah ketika identitas dijadikan sebagai akidah bagi kehidupan kaum Muslimin dan juga ketika dijadikan alat tunggangan politik kekuasaan.
Oleh karena itu, salah satu hal yang sangat penting yang perlu diperhatikan untuk memahami Islam dalam menentukan identitas dirinya, - selain bersumber pada al-Qur’an dan ilmu pengetahuan (bahasa, sosial, humaniora, dan lain-lain) - adalah “kesadaran spiritual”.Kesadaran spritual yang dimaksudkan dapat digali dari konsep Ihsan.Ihsan dapat dipandang sebagai kesadaran manusia terhadap Tuhan secara vertikal dan horizontal. Dalam tataran vertikal, manusia sadar akan kehambaannya di hadapan Tuhan yang berada dalam kawasan transendental, sehingga ia tidak akan bersombong diri dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Dengan kata lain, ada kontrol diri dalam semua perbuatannya karena sadar akan keberadaan Tuhan. Sedangkan secara horizontal, manusia sadar akan fungsinya di dunia sebagai khalifatullahdi muka bumi ini untuk menyebarkan kebaikan dan kasih sayang untuk seluruh umat manusia dan alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).

15


BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
            Berdasarkan semua hal di atas, penulis berpendapat bahwa agar Islam sebagai identitas tidak disalahpahami sebagai agama eksklusif dan kekerasan, maka setidaknya umat Islam perlu mendulang kembali prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat humanis yang disertai kesadaran egaliter, inklusifyang diikuti oleh kesadaran empatik, pluralis yang memiliki kesadaran multikultural, dan liberatif yang diiringi oleh kesadaran inovatif. Namun semua itu tetap berada dalam selubung iman yang memiliki kesadaran spiritual. Dengan begitu, Islam sebagai identitas akan menampakkan wajahnya yang ramah dan tidak lagi tampil dengan wajah kekerasan, sehingga segala bentuk konflik dalam masyarakat dapat diminimalisasikan.
Demikianlah sepercik pengetahuan yang dapat penulis sampaikan, dengan meyakini adanya Tuhan sebagai hal yang transendental sekaligus imanen, yang merupakan modal dasar untuk mengokohkan tauhid dalam diri manusia.
Sekian, terimakasih.









16


Daftar Pustaka
http://bagusizza.blogspot.com/2013/05/sejarah-peradaban-islam.htmlSejarah Peradaban Islam Di Indonesia

















17

0 komentar:

Posting Komentar