MAKALAH
“ IDENTITAS PERADABAN ISLAM DI
INDONESIA”
Disusun
Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah :
Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pembimbing : Wasito,M.Pdi
Oleh :
Azizi
NIM : 2013.03.0.0584
INSTITUT AGAMA ISLAM TRIBAKTI (IAIT) KEDIRI
FAKULTAS DAKWAH PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
TAHUN AKADEMIK 2014/ 2015
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayahnya, makalah ini dapat
diselesaikan. Shalawat dan Salam tetap kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
kepada keluarganya, kepada sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya yang
senantiasa menjalankan sunnah-sunnah beliau.
Dalam penyusunan makalah ini penulis mempunyai
tujuan untuk memenuhi tugas perkuliahan. Tidak lupa penulis ucapkan terima
kasih kapada teman-teman yang telah memberikan motifasi belajar dan memberikan
ilmunya kepada penyusun, sehingga makalah ini dapat
penulis selesaikan.
Penulis
mohon kepada teman-teman satu semester khususnya, dan umumnya kepada para
pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam makalah ini, baik
dari segi bahasanya maupun isinya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya makalah yang akan
datang.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Kediri,25
maret 2015
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Identitas merupakan bentuk ciri-ciri atau tanda pengenalan
diri. Dengan ciri-ciri tertentu tersebut seseorang ingin dikenali oleh orang
lain dan orang lain pun dapat mengenali seseorang tersebut. Selain itu,
identitas juga sebagai bentuk pengakuan diri, individu yang ingin diakui
keberadaannya oleh individu lain; sebuah pengukuhan eksistensi diri. Hal
tersebut juga berlaku dalam bentuk skala yang lebih besar seperti kebudayaan
masyarakat tertentu berdasarkan tradisi yang ada di dalamnya.
Bila dikaitkan dengan Islam, maka Islam dapat dipandang
sebagai salah satu bentuk yang khas dari sebuah identitas, ketika ia membumi
dengan kehidupan manusia yang bermasyarakat dalam bentuk tradisi dan
kebudayaan. Namun sayangnya, ketika Islam berperan sebagai sebuah identitas
yang mengejawantah dalam bentuk budaya dan tradisi, ia cenderung menjadi
eksklusif.Eksklusivitas yang dikedepankan oleh masyarakat muslim lebih
cenderung disebabkan oleh karena mereka menganggap identitas sebagai akidah
bagi kehidupan mereka. Di sinilah bentuk sebuah identitas sering menjadi lahan
konflik karena menganggap perbedaan sebagai hal yang tidak seharusnya terjadi.
Oleh karena itu, problem yang ingin dijawab oleh penulis
dalam kesempataan ini adalah: peran identitas yang sering dimasukkan dalam
wilayah teologi, kemudian menjadi sebuah bentuk keyakinan yang rigid dan
menjadi legitimasi bagi tindak kekerasan.
B.Rumusan Masalah
1. Memahami Sejarah Peradaban islam di Indonesia?
2. Memahami
Identitas peradaban islam di Indonesia
3
DAFTAR
ISI
Judul : …………………………………………………..…………………1
Kata pengantar……………………………………………………………....2
BAB
I: PENDAULUAN…………………………………………………..2
A. Latar belakang………………………………………………………2
B. Rumusan masalah…………………………………………………...3
Daftar
Isi……………………………………………………………4
BAB II : PEMBAHASAN
A. Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia………………………….5
1.Peradaban islam sebelum
kemerdekaan………………………………5
2.Peradaban Sesudah Kemerdekaan…………………………………....10
3.Identitas Peradaban Islam Di Indonesia……………………………....13
BAB III : PENUTUP
A.
KESIMPULAN……………………………………………………16
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...17
4
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.Sejarah Peradaban Islam Di
Indonesia
1.Peradaban islam sebelum
kemerdekaan
Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama hijriyah atau
abad ke tujuh sampai abad ke delapanmasehi. Ini mungkin didasarkan kepada
penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang bernama Fatimah binti Maimun
dileran dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M. Sedang menurut laporan
seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi Samudera Pasai dalam
perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345 M. Agama islam yang bermahzab
Syafi’I telah mantap disana selama se abad, oleh karena itu berdasarkan bukti
ini abad ke XIII di anggap sebagai awal masuknya agama islam ke Indonesia.
Derah yang pertama-pertama
dikunjungi ialah pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di peureulak Aceh Timur,
kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan islam pertama di Samudera
Pasai, Aceh Utara. Pesisir Utara pulau Jawa kemudian meluas ke Maluku yang
selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit.
Pada permulaan abad ke XVII dengan masuk islamnya penguasa
kerajaan Mataram, yaitu: Sultan Agung maka kemenangan agama islam hampir
meliputi sebagai besar wilayah Indonesia. Pada tahun 1601 kerajaan Hindia Belanda
datang ke Nusantara untuk berdagang, namun pada perkembangan selanjutnya mereka
menjajah daerah ini.Belanda datang ke Indonesia dengan kamar dagangnya, VOC,
sejak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dikuasainya kecuali Aceh. Saat itu
antara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat membentuk aliansi atau
kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah terpotong.
5
Dengan sumuliayatul (kesempurnaan) Islam yang tidak ada
pemisahan antara aspek-aspek kehidupan tertentu dengan yang lainnya, ini telah
diterapkan oleh para ulama saat itu.Ketika penjajahan datang, para ulama
mengubah pesantren menjadi markas perjuangan, para santri (peserta didik
pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah,
sedangkan ulamanya menjadi panglima perang.Potensi-potensi tumbuh dan
berkembang di abad ke-13 menjadi kekuatan perlawanan terhadap penjajah.Ini
dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan Islam yang
syair-syairnya berisi seruan perjuangan.Para ulama menggelorakan jihad melawan
penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan
strategi-strategi: Politik devide et impera, yang pada kenyataannya
memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan ulama dengan adat, contohnya
perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar, seorang Guru Besar ke-Indonesiaan di Universitas Hindia Belanda, yang juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah.Dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji, karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.
Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar, seorang Guru Besar ke-Indonesiaan di Universitas Hindia Belanda, yang juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah.Dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji, karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.
Di akhir abad ke-19, muncul ideologi
pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamal-al-Din Afghani dan Muhammad
Abduh.Ulama-ulama Minangkabau yang belajar di Kairo, Mesir banyak berperan
dalam menyebarkan ide-ide tersebut, diantara mereka ialah Muhammad Djamil
Djambek dan Abdul Karim Amrullah.Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat
didukung dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909),
Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915). Pada tahun 1906, Tahir bin
Jalaluddin menerbitkan koran
6
pembaruan
al-Iman di Singapura dan lima tahun kemudian, di Padang terbit koran
dwi-mingguan al-Munir.
Sejak
pertengahan abad ke XIX, agama islam di Indonesia secara bertahap mulai
meninggalkan sifat-sifatnya yang Singkretik (mistik). Setelah banyak orang
Indonesia yang mengadakan hubungan dengan Mekkah dengan cara menunaikan ibadah
haji, dan sebagiannya ada yang bermukim bertahun-tahun lamanya.
Ada tiga tahapan “masa” yang dilalui
atau pergerakan sebelum kemerdekaan, yakni :
1.Pada Masa Kesultanan
Daerah yang sedikit sekali disentuh
oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera Barat
dan Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama,
social dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut
agama islam itu telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Dikerajaan
tersebut agama islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu
buktinya yaiut banyaknya nama-nama islam dan peninggalan-peninggalan yang
bernilai keIslaman.
Dikerjaan Banjar dengan masuk
islamnya raja banjar. Perkembangan islam selanjutnya tidak begitu sulit, raja
menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya membawa kepada
kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan islam. Secara konkrit
kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan adanya Mufti dan
Qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam bidang Fiqih dan
Tasawuf.Islam di Jawa, pada masa pertumbuhannya diwarnai kebudayaan jawa, ia
banyak memberikan kelonggaran pada sistem kepercayaan yang dianut agama
Hindu-Budha. Hal ini memberikan kemudahan dalam islamisasi atau paling tidak mengurangi
kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Wali Songo sangatlah berjasa dalam
pengembangan agama islam di pulau Jawa.
7
Menurut buku Babad Diponegoro yang
dikutip Ruslan Abdulgani dikabarkan bahwa Prabu Kertawijaya penguasa terakhir
kerajaan Mojo Pahit, setelah mendengar penjelasan Sunan Ampel dan sunan Giri,
maksud agam islam dan agama Budha itu sama, hanya cara beribadahnya yang
berbeda. Oleh karena itu ia tidak melarang rakyatnya untuk memeluk agama baru
itu (agama islam), asalkan dilakukan dengan kesadaran, keyakinan, dan tanpa
paksaan atau pun kekerasan.
2.
Pada Masa Penjajahan
Dengan datangnya pedagang-pedagang
barat ke Indonesia yang berbeda watak dengan pedagang-pedagang Arab, Persia,
dan India yang beragama islam, kaum pedagang barat yang beragama Kristen
melakukan misinya dengan kekerasan terutama dagang teknologi persenjataan
mereka yang lebih ungggul daripada persenjataan Indonesia. Tujuan mereka adalah
untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan islam di sepanjang pesisir kepulauan
nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia untuk menjalin hubungan
dagang, karena Indonesia kaya dengan rempah-rempah, kemudian mereka ingin
memonopoli perdagangan tersebut.
Waktu itu kolonial belum berani
mencampuri masalah islam, karena mereka belum mengetahui ajaran islam dan
bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem social islam. Pada tahun 1808
pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para bupati agar urusan agama
tidak diganggu, dan pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan
perkara-perkara dibidang perkawinan dan kewarisan.
Tahun 1820 dibuatlah Statsblaad
untuk mempertegaskan instruksi ini.Dan pada tahun 1867 campur tangan mereka
lebih tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada bupati dan wedana, untuk
mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun yang bertentangan dengan
peraturan Gubernur Jendral.Lalu pada tahun 1882, mereka mengatur lembaga
peradilan agama yang dibatasi hanya menangani perkara-perkara perkawinan,
kewarisan, perwalian, dan perwakafan.
8
Apalagi setelah kedatangan Snouck
Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan
Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah islam di Indonesia,
karena Snouck mempunyai
pengalaman
dalam penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan
gagasannya yang dikenal dengan politik islamnya. Dengan politik
itu,
ia membagi masalah islam dalam tiga kategori :
a.
Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan
kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan
agamanya
sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b.
Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum
islam baru bisa diberlakukan apabila tidak bertentangan dengan adapt kebiasaan.
c. Bidang politik
c. Bidang politik
Orang
islam dilarang membahas hukum islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang
menerangkan tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.
3.
Pada Masa Kemerdekaan
Terdapat asumsi yang senantiasa
melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini sebagian dibentuk oleh
masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini. Demikian pula halnya
dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini, tentu sangat dipengaruhi
masa lalunya.Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi
islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut versi islam. Sebagai
kekuatan moral dan budaya, islam diakui keberadaannya, tetapi tidak pada
kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri ini.
Seperti halnya pada masa penjajahan
Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, islam sebagai kekuatan ibadah
(sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan politik
perlu dibatasi.
9
Perkembangan
selanjutnya pada masa Orde Lama, islam telah diberi tempat tertentu dalam
konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama dalam dunia politik.
Sedangkan pada masa
Orde
Baru, tampaknya islam diakui hanya sebatas sebagai landasan moral bagi
pembangunan bangsa dan negara.
2.
Peradaban Sesudah Kemerdekaan
1.
Pra Kemerdekaan
Ajaran islam pada hakikatnya terlalu
dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Berdasarkan pengalaman melawan
penjajah yang tak mungkin dihadapi dengan perlawanan fisik, tetapi harus
melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan organanisasi.Seperti :
-
Budi Utomo (1908) - Taman Siswa (1922)
-
Sarikat Islam (1911) - Nahdhatul Ulama (1926)
-
Muhammadiyah (1912) - Partai Nasional Indonesia (1927)
-
Partai Komunis Indonesia (1914)
Menurut
Deliar Noer, selain yang tersebut diatasmasih ada organisasi islam lainnya yang
berdiri pada masa itu, diantaranya:
-
Jamiat Khair (1905)
-
Persyarikatan Ulama ( 1911)
-
Persatuan Islam (1920)
-
Partai Arab Indonesia (1934)
Organisasi perbaharu terpenting
dikalangan organisasi tersebut diatas, adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh
K.H Ahmad Dahlan, dan Nadhatul Ulama yang dipelopori oleh K.H Hasyim
Asy’ari.Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah, maka Muhammadiyah
dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan suatu federasi
islam yang baru yang disebut
10
Majelis
Islan Ala Indonesia ( Majelis Islam Tertinggi di Indonesia ) yang disingkat
MIAI, yang didirikan di Surabaya pada tahun 1937.
Masa pemerintahan Jepang, ada tiga
pranata sosial yang dibentuk oleh pemerintahan Jepang yang menguntungkan kaum
muslim di Indonesia, yaitu :
a.
Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang menggantikan Kantor Urusan Pribumi
zaman Belanda, yang dipimpin oleh Hoesein Djayadiningrat pada 1 Oktober 1943.
b. Masyumi, ( Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943, Tujuan didirikannya adalah selain untuk memperkokohkan Persatuan Umat Islam di Indonesia, juga untuk meningkatkan bantuan kaum muslimin kepada usaha peperangan Jepang.
b. Masyumi, ( Majelis Syura Muslimin Indonesia menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943, Tujuan didirikannya adalah selain untuk memperkokohkan Persatuan Umat Islam di Indonesia, juga untuk meningkatkan bantuan kaum muslimin kepada usaha peperangan Jepang.
c.
Hizbullah, ( Partai Allah atau Angkatan Allah ) semacam organisasi militer
untuk pemuda-pemuda muslimin yang dipimpin oleh Zainul Arifin. Organisasi
inilah yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional
d.
Indonesia (TNI).
2.
Pada Masa Penjajahan
Dengan datangnya pedagang-pedagang
barat ke Indonesia yang berbeda watak dengan pedagang-pedagang Arab, Persia,
dan India yang beragama islam, kaum pedagang barat yang beragama Kristen
melakukan misinya dengan kekerasan terutama dagang teknologi persenjataan
mereka yang lebih ungggul daripada persenjataan Indonesia. Tujuan mereka adalah
untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan islam di sepanjang pesisir kepulauan
nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia untuk menjalin hubungan
dagang, karena Indonesia kaya dengan rempah-rempah, kemudian mereka ingin
memonopoli perdagangan tersebut.
Waktu
itu kolonial belum berani mencampuri masalah islam, karena mereka belum
mengetahui ajaran islam dan bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem social
islam. Pada tahun 1808 pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para
bupati agar urusan agama tidak diganggu, dan pemuka-pemuka agama dibiarkan
untuk memutuskan perkara-perkara dibidang perkawinan dan kewarisan.
11
Tahun 1820 dibuatlah Statsblaad
untuk mempertegaskan instruksi ini.Dan pada tahun 1867 campur tangan mereka
lebih tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada bupati dan wedana, untuk
mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun yang bertentangan dengan
peraturan Gubernur Jendral.Lalu pada tahun 1882, mereka mengatur lembaga
peradilan agama yang dibatasi hanya menangani perkara-perkara perkawinan,
kewarisan, perwalian, dan perwakafan.
Apalagi
setelah kedatangan Snouck Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan
Pribumi dan Arab, pemerintahan Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan
mengenai masalah islam di Indonesia, karena Snouck mempunyai pengalaman dalam
penelitian lapangan di negeri Arab, Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan
gagasannya yang dikenal dengan politik islamnya.
Dengan
politik itu, ia membagi masalah islam dalam tiga kategori :
a.
Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat
islam untuk melaksanakan agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan
pemerintah Belanda.
b. Bidang sosial kemasyarakatan
b. Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum islam baru bisa diberlakukan apabila tidak
bertentangan dengan adapt kebiasaan.
c. Bidang politik
c. Bidang politik
Orang islam dilarang membahas hukum islam, baik Al-Qur’an
maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan dan ketata negaraan.
12
3.
Pada Masa Kemerdekaan
Terdapat asumsi yang senantiasa
melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini sebagian dibentuk oleh
masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini. Demikian pula halnya
dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini, tentu sangat dipengaruhi
masa lalunya.Islam di Indonesia telah diakui sebagai kekuatan cultural, tetapi
islam dicegah untuk merumuskan bangsa Indonesia menurut
versi
islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, islam diakui keberadaannya, tetapi
tidak pada kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri ini.
Seperti halnya pada masa penjajahan
Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, islam sebagai kekuatan ibadah
(sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan politik
perlu dibatasi. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, islam telah
diberi tempat tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama
dalam dunia politik. Sedangkan pada masa Orde Baru, tampaknya islam diakui
hanya sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan negara.
B.Identitas
Peradaban Islam Di Indonesia
Identitas merupakan bentuk ciri-ciri
atau tanda pengenalan diri. Dengan ciri-ciri tertentu tersebut seseorang ingin
dikenali oleh orang lain dan orang lain pun dapat mengenali seseorang tersebut.
Iman kepada Tuhan hanya akan bermakna jika dilanjutkan
dengan tindakan. Dengan begitu, iman dapat dikatakan bermakna ketika terjadi
sebuah proses yang menjamin tersebarnya kabaikan, keadilan, dan kesejahteraan
sosial. Dengan begitu, ketika terdapat pertanyaan, Islam dibangun atas apa?
Maka jawabannya adalah iman (ilmu) dan tindakan (amal).Karena, identitas
tercermin dalam keimanan dan tindakan seseorang.
13
Namun yang sangat disayangkan berkaitan dengan masalah
teologi, sekalipun doktrin tauhid tidak pernah menghilang dari perjalanan
peradaban Islam, aktualisasinya dalam berbagai dimensi kehidupan tidak selalu
menjadi kenyataan.Kepercayaan kepada ke-Esa-an Allah (iman-tauhid) belum tentu
terkait dengan perilaku umat dalam kiprah kesejarahannya. Dengan kata lain,
iman dapat saja menjadi iman yang mandul. Padahal bagi muslim generasi awal,
iman merupakan kekuatan penggerak sejarah yang dahsyat. Kekuatan itu bukan
untuk menghancurkan peradaban lain, tapi untuk mengarahkannya kepada tujuan dan
nilai kemanusiaan yang luhur.
Akan tetapi di lain pihak, saat ini
masyarakat muslim dihadapkan dengan pilihan yang sulit antara identitas
pluralistik (seperti “Nasionalis Muslim Indonesia” atau “Sosialis Muslim Arab”)
dan identitas Islam yang murni. Identitas-identitas pluralistik memiliki resiko
terjerumus pada banyaknya melakukan akomodasi dengan unsur-unsur lain yang pada
akhirnya aspek Islam yang unik itu hilang dan identitas itu bahkan menjadi
semakin non-islami. Di sisi lain, kecenderungan monolitik untuk menegaskan
kembali nilai-nilai Islam hanya akan mengalienasi gerakan-gerakan ini dari
jaringan koalisi nasional warga negara yang lebih luas. Bila terisolasi dari
koalisi-koalisi itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan
akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan dan eksklusif, sehingga
melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu. Tantangan pada
saat ini adalah menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada
Islam dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan kelompok yang lebih
besar dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan
yang lain dan keprihatinan global.
14
Penyusupan nilai-nilai islami dalam
dunia politik merupakan bentuk identitas tersamar, dengan pengertian bahwa
meski tidak diberi embel-embel “Islam”, namun dapat diketahui berdasarkan
tindakan politiknya bahwa mereka mengusung nilai-nilai (idea-moral) islami.
Namun sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya, identitas Islam ditampilkan
secara jelas, akan tetapi dibalik identitas tersebut tersembunyi ambisi politik
untuk meraih tujuan tertentu demi melanggengkan legitimasi kekuasaan dan
kesenangan diri pribadi. Dengan begitu, Islam sebagai identitas hanya dijadikan
sebagai kendaraan tunggangan untuk dapat mencapai kepentingan kelompok
tertentu.
Berdasarkan
hal di atas, ketika Islam berperan sebagai identitas, apakah nilai-nilai
kemanusiaannya atau atribut fisiknya yang akan lebih dikedepankan?Dengan
begitu, dapat terlihat bahwa problem utama yang terjadi antara Islam dan
identitas adalah ketika identitas dijadikan sebagai akidah bagi kehidupan kaum
Muslimin dan juga ketika dijadikan alat tunggangan politik kekuasaan.
Oleh karena itu, salah satu hal yang
sangat penting yang perlu diperhatikan untuk memahami Islam dalam menentukan
identitas dirinya, - selain bersumber pada al-Qur’an dan ilmu pengetahuan
(bahasa, sosial, humaniora, dan lain-lain) - adalah “kesadaran spiritual”.Kesadaran
spritual yang dimaksudkan dapat digali dari konsep Ihsan.Ihsan dapat
dipandang sebagai kesadaran manusia terhadap Tuhan secara vertikal dan horizontal.
Dalam tataran vertikal, manusia sadar akan kehambaannya di hadapan Tuhan
yang berada dalam kawasan transendental, sehingga ia tidak akan
bersombong diri dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Dengan kata lain, ada
kontrol diri dalam semua perbuatannya karena sadar akan keberadaan Tuhan.
Sedangkan secara horizontal, manusia sadar akan fungsinya di dunia
sebagai khalifatullahdi muka bumi ini untuk menyebarkan kebaikan dan
kasih sayang untuk seluruh umat manusia dan alam semesta (rahmatan lil
‘alamin).
15
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Berdasarkan semua hal di atas,
penulis berpendapat bahwa agar Islam sebagai identitas tidak disalahpahami
sebagai agama eksklusif dan kekerasan, maka setidaknya umat Islam perlu
mendulang kembali prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat humanis
yang disertai kesadaran egaliter, inklusifyang diikuti oleh kesadaran
empatik, pluralis yang memiliki kesadaran multikultural, dan liberatif
yang diiringi oleh kesadaran inovatif. Namun semua itu tetap berada dalam
selubung iman yang memiliki kesadaran spiritual. Dengan begitu, Islam
sebagai identitas akan menampakkan wajahnya yang ramah dan tidak lagi tampil
dengan wajah kekerasan, sehingga segala bentuk konflik dalam masyarakat dapat
diminimalisasikan.
Demikianlah sepercik pengetahuan yang dapat penulis
sampaikan, dengan meyakini adanya Tuhan sebagai hal yang transendental
sekaligus imanen, yang merupakan modal dasar untuk mengokohkan tauhid
dalam diri manusia.
Sekian,
terimakasih.
16
Daftar Pustaka
http://bagusizza.blogspot.com/2013/05/sejarah-peradaban-islam.htmlSejarah
Peradaban Islam Di Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar