Selasa, 21 Februari 2017

Fenomena Kuda Lumping



Selain beberapa kesenian tradisonal debus dari banten seperti Degung, Longser, benjang, kuda ronggeng atau tayuban lainnya, ada satu kesenian yang tidak kalah tersohor dikalangan masyarakat jawa yaitu “Kuda Lumping”.
Kuda Lumping biasanya disebut juga dengan jaran kepang, yaitu kuda-kudaan yang terbuat dari sesek bambu yang dinaiki orang yang lagi kesurupan.Kuda lumping yang asli terbuat dari kulit binatang seperti wayang kulit, hanya karena kulit binatang harganya mahal maka diganti dengan geribik (kulit bambu). Kuda lumping identik dengan kebiasaannya memakan beling. Kebiasaan itu menimbulkan pertanyaan dikalangan masyarakat yang kerap kali menyaksikan pertunjukkan kesenian tersebut. Kesenian tradisional ini berlangsung secara turun menurun.
Kesenian ini biasanya ada pada warga yang melakukan hajatan (sunatan). Biasanya diramaikan dengan bunyi-bunyian terompet dan gendang.Sejak puluhan tahun silam atau mungkin lewat,memang tak pernah lepas dari sebuah tradisi. Yakni, upacara memandikan dan mengarak pengantin sunat atau anak yang akan dikhitan. Tradisi ini diawali dengan pembacaan mantra penolak bala oleh salah seorang tetua desa. Agar prosesi khitanan berjalan lancar dan sang anak terhindar dari berbagai gangguan dari Batara Kala.
Sudah menjadi tradisi turun-menurun pula seorang bocah lelaki yang akan dikhitan diberi pendamping anak perempuan seusianya, layaknya sepasang calon mempelai. Kedua anak yang juga sering disebut pengantin sunat ini lantas dimandikan dengan air suci. Upacara ini dilakukan agar fisik dan batin si anak menjadi bersih, seputih beras yang dijadikan simbol.
Usai dimandikan, pasangan pengantin sunat ini diarak dengan jampana, yaitu kursi tandu yang dipanggul empat orang dewasa. Mereka memutari desa dengan diiringi musik bamplang untuk mengabarkan ke seluruh desa bahwa esok hari si anak akan menjalani salah satu ritual yang dianjurkan agama Islam, yakni khitanan. Dan sepanjang jalan yang dilalui, musik tak henti-hentinya ditabuh. Keramaian kuda lumping mencapai puncak ketika para pemain tampak kesurupan.
Dalam keadaan tanpa sadar, mereka melakukan hal-hal yang tak wajar. Semisal memakan ayam hidup-hidup atau beling (pecahan kaca). Cuma pawanglah yang nantinya dapat menghentikan segala atraksi tersebut, seperti hal memulainya. Para pemain kuda lumping dituntun untuk berbaring di atas tikar. Selanjutnya, pawang menyelimuti seluruh tubuh mereka dengan selembar kain. Setelah membacakan mantra, para pemain kuda lumping itu kembali sadar sediakala dan seolah tak pernah terjadi apa-apa.
Awalnya, menurut sejarah, seni kuda lumping lahir sebagai simbolisasi bahwa rakyat juga memiliki kemampuan (kedigdayaan) dalam menghadapi musuh ataupun melawan kekuatan elite kerajaan yang memiliki bala tentara. Di samping, juga sebagai media menghadirkan hiburan yang murah-meriah namun fenomenal kepada rakyat banyak.
Kini, kesenian kuda lumping masih menjadi sebuah pertunjukan yang cukup membuat hati para penontonnya terpikat. Walaupun peninggalan budaya ini keberadaannya mulai bersaing ketat oleh masuknya budaya dan kesenian asing ke tanah air, tarian tersebut masih memperlihatkan daya tarik yang tinggi. Hingga saat ini, kita tidak tahu siapa atau kelompok masyarakat mana yang mencetuskan (menciptakan) kuda lumping pertama kali. Faktanya, kesenian kuda lumping dijumpai di banyak daerah dan masing-masing mengakui kesenian ini sebagai salah satu budaya tradisional mereka. Termasuk disinyalir beberapa waktu lalu, diakui juga oleh pihak masyarakat Johor di Malaysia sebagai miliknya di samping Reog Ponorogo. Fenomena mewabahnya seni kuda lumping di berbagai tempat, dengan berbagai ragam dan coraknya, dapat menjadi indikator bahwa seni budaya yang terkesan penuh magis ini kembali naik terdengar lagi, untuk kemudian dikembangkan dan dilestarikan kembali nilai-nilai kebudayaan Indonesia.
D. Hal-hal Yang Sejenisnya
Secara garis besar, begitu banyak kesenian serta kebudayaan yang ada di Indonesia diwariskan secara turun-menurun dari nenek moyang bangsa Indonesia hingga ke generasi saat ini. (4)

[4] Drs. Abuddin Nata, M.A, Antara Sufistik dan Kebudayaan di Indonesia
Pentas kesenian kuda lumping, dan kesenian rakyat lainnya seperti Reog Ponorogo, tiban, tayub dan lainnya.
1. Seni Tiban
Seni Tiban menampilkan aksi penari yang saling mencambuki tubuh mereka sampai berdarah sebagai bentuk pengorbanan dan ritual untuk meminta hujan kepada Yang Maha Kuasa. Diyakini oleh masyarakat setempat darah yang keluar dari tubuh penari akan jatuh menimpa bumi dan mampu mendatangkan hujan.
Tiban muncul ketika kerajaan Kediri mengalami bencana kekeringan. Saat itu Raja Kertajaya meminta rakyatnya mau melakukan pengorbanan agar segera dibebaskan dari bencana. Upacara pengorbanan ini dilakukan di bawah terik matahari dengan jalan menyiksa diri dengan menggunakan pecut yang terbuat dari Sodo Aren. Cucuran darah yang keluar dari tubuh rakyat sebagai wujud persembahan inilah yang kemudian dianggap mampu mendatangkan hujan di bumi.Hingga saat ini upacara minta hujan masih berlangsung karena diyakini mampu menghindarkan rakyat Kediri dari bencana kekeringan.
Seni Tiban menurut hokum islam sangat diharamkan karena di anggap ritual tersebut berasal dari kebudayaan hindu yang memohon hujuan kepada tuhan mereka.dan memang apa yang mereka lakukan dengan melukai dirinya juga dilarang oleh islam.
2. Temanten Kucing'
Di Tulungagung, Upacara ritual Temanten Kucing' dihelat di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Sepasang kucing lanang (kucing jantan) dan kucing wadon (kucing betina) dipertemukan layaknya prosesi penganten.
Tradisi rutin yang digelar untuk memohon turunnya hujan ini benar-benar menyedot perhatian warga., prosesi Temanten Kucing' mulai digelar di lereng pegunungan Coban Desa Pelem.
Tradisi ini selalu dilakukan warga desa kami secara turun temurun. Dalam riwayatnya, upacara "temanten Kucing" digelar untuk memohon turunnya hujan. Dalam upacara ini, sepasang kucing jantan dan kucing betina dipertemukan menjadi pasangan pengantin.
Prosesi "Temanten Kucing" diawali dengan mengirab sepasang kucing jantan dan betina kucing warna putih yang dimasukkan dalam keranji. Dua ekor kucing itu dibawa sepasang pengantin' laki-laki dan wanita. Di belakangnya, berderet tokoh-tokoh desa yang mengenakan pakaian adat Jawa.
Sebelum dipertemukan, pasangan "Temanten Kucing" dimandikan di telaga Coban. Secara bergantian, kucing jantan dan kucing betina dikeluarkan dari dalam keranji. Lalu, satu per satu dimandikan dengan menggunakan air telaga yang sudah ditaburi kembang.
Usai dimandikan, kedua kucing diarak menuju lokasi pelaminan. Di tempat yang sudah disiapkan aneka sesajian itu, pasangan kucing jantan dan betina itu ‘dinikahkan'. Sepasang laki-laki dan perempuan yang membawa kucing, duduk bersanding di kursi pelaminan. Sementara dua temanten kucing berada di pangkuan kedua laki-laki dan wanita yang mengenakan pakian pengantin itu. Upacara pernikahan ditandai dengan pembacaan doa-doa yang dilakukan sesepuh desa setempat. Tak lebih dari 15 menit, upacara pernikahan pengantin kucing usai.
Temanten Kucing sama hukumnya dengan seni Tiban yang memang haram karena didalam hukum islam pun ada cara tersendiri dalam meminta hujan, yaitu dengan melakukan shalat Istisqo’.

di kutip dari:

0 komentar:

Posting Komentar