Kesenian Kuda Lumping (Jaranan) Sedyo Rukun dalam Nilai-Nilai Budaya Jawa dan Ajaran Islam
Kesenian kuda lumping (Jaranan)
merupakan salah satu warisan budaya peninggalan nenek moyang masyarakat
jawa dalam bentuk kesenian tradisional. Kesenian kuda lumping atau
biasa disebut jaranan pada jaman dahulu adalah selalu identik
bersifat sakral. Maksudnya, selalu berhubungan dengan hal-hal yang
sifatnya gaib. Selain untuk tontonan, dahulu kesenian kuda lumping juga
digunakan untuk upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan roh-roh.
Pada umumnya, kesenian kuda lumping (Jaranan) dikenal sebagai kesenian rakyat Folk Art dan
digemari oleh golongan masyarakat bawah, karena kesenian kuda lumping
merupakan kebudayaan maka, memiliki makna dan nilai yang dikomunikasikan
melalui lambang-lambang atau simbol.
Menurut Clifford C.Geertz, kebudayaan
adalah jalinan makna dimana manusia menginterpretasikan pengalamannya
dan selanjutnya kebudayaan akan menuntun tingkahlakunya. Kebudayaan
beroperasi pada level komunitas, hal ini berbeda dengan kepribadian
(personaality) yang berporasi pada level individu. Geertz juga
memberikan pengertian kebudayaan sebagai memiliki dua elemen, yaitu
kebudayaan sebagai sistem kognitif serta sistem makna, dan kebudayaan
sebagai sistem nilai. Sistem kognitif dan sistem makna ialah
representasi pola dari atau model of, sedangkan sistem nilai ialah representasi dari pola bagi atau model for.
Jika “pola dari” adalah representasi kenyataan sebagaimana wujud nyata
kelakuan manusia sehari-hari, maka “pola bagi” ialah representasi dari
apa yang menjadi pedoman bagi manusia untuk melakukan tindakan itu
contoh yang lebih sederhana adalah kesenian kuda lumping yang dilakukan
oleh suatu masyarakat merupakan pola dari, sedangkan ajaran yang
diyakini kebenarannya sebagai dasar atau acuan melestarikan kesenian
kuda lumping adalah pola bagi atau model untuk. Kesenian kuda lumping (Jaranan)
Sedyo Rukun merupakan kesenian yang senantiasa dijaga eksistensinya
sampai sekarang oleh masyarakat desa Ngasem. Dalam praktek
sehari-harinya, para seniman jaranan adalah orang-orang abangan yang
masih taat kepada leluhur. Mereka masih memiliki kepercayaan yang tinggi
terhadap roh-roh nenek moyangnya. Namun seiring dengan berjalannya
waktu, para remaja desa juga turut di ikutsertakan dalam keterlibatannya
guna melestarikan kesenian kuda lumping (Jaranan). Sebelum
kesenian ditampilkan biasanya juga masih melaksanakan praktik-praktik
slametan seperti halnya dilakukan oleh orang-orang dahulu serta
upacara-upacara disertai sesajen sebelum memulai pertunjukan. Tujuan
dari kesenian kuda lumping ini adalah menjaga eksistensi kebudayaan jawa
peninggalan nenek moyang yang saat ini mulai pudar, dan dilupakan oleh
generasi muda. Selain itu, kesenian kuda lumping Sedyo Rukun merupakan
kesenian tradisional yang digemari oleh masyarakat dikarenakan kesenian
kuda lumping mampu hadir dalam bentuk kesenian yang menyenangkan semua
lapisan masyarakat dan laku dijual dalam bentuk hiburan. Kesenian kuda
lumping Sedyo Rukun dikenal sebagai kesenian yang mengandung nilai-nilai
keagamaan karena didalamnya terdapat unsur-unsur seni yang mengandung
makna-makna sebagaimana ajaran atau moral agama islam seperti halnya
syair-syair yang berbentuk Sholawatan yang pada dasarnya sebagai sarana manusia untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepada ALLAH SWT.
Kesenian kuda lumping (jaranan)
Sedyo Rukun merupakan bentuk suatu paguyuban yang dibentuk dan
dipelopori oleh beberapa tokoh adat dari desa Ngasem yang perihatin
terhadap keberadaan kesenian tradisional yang semakin hari semakin
tergerus oleh jaman akibat pengaruh globalisasi. Paguyuban tersebut
berdiri sekitar tahun 2004, sebenarnya paguyuban tersebut sudah ada
sebelumnya, namun karena sebagian dari anggotanya sudah meninggal
paguyuban kesenian kuda lumping Sedyo Rukun sempat vakum sampai akhirnya
bangkit kembali karena adanya dorongan dari beberapa elemen masyarakat
yang menginginkan kesenian tersebut eksis kembali. Seiring perkembangan
jaman, Kesenian kuda lumping tersebut dipentaskan pada perayaan
hari-hari besar seperti hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia,
Syawalan, bahkan untuk memenuhi undangan pernikahan atau perayaan
tertentu yang tentunya dikenakan tarif untuk peyelenggara yang
mengundangnya. Untuk satu kali pementasan biasanya dikenai tarif antara
Rp. 1.500.000,00 – Rp. 2.000.000.00 yang dimulai dari pukul 08.30 dan
berakhir pukul 17.00. Uang dari hasil pementasan tersebut biasanya
dibagi rata untuk biaya pemeliharaan perlengkapan pentas seperti gamelan
dan pakaian, sedangkan sisanya untuk makan bersama seluruh anggota
paguyuban Sedyo Rukun. Jarang sekali yang terlibat dalam paguyuban
tersebut meminta honor dari hasil mereka pentas, bagi mereka selama
mereka masih dalam satu desa mereka adalah keluarga, dan tujuan mereka
pentaspun bukan sebagai mata pencaharian tetapi sebagai bentuk kesadaran
mereka untuk senantiasa menjaga eksistensi kesenian kuda lumping
sebagai kesenian tradisional yang harus dilestarikan dan memperkenalkan
ke luar desa mereka. Kesenian kuda lumping (jaranan) Sedyo
Rukun yang tadinya hanya digemari oleh kalangan masyarakat bawahpun
seiring dengan perkembangannya mulai digemari dan dianggap oleh seluruh
kalangan lapisan masyarakat dari anak-anak sampai orang dewasa, dari
kalangan orang bekerja sebagai petani, buruh, ibu rumah tangga dan
pedagang sampai kalangan pegawai dan pejabatpun turut serta menikmati
tontonan merakyat ini yang biasanya dipentaskan atau dipertunjukkan pada
hari-hari libur. Sehingga dengan begitu, sangatlah mudah untuk
mendorong masyarakat menyempatkan menonton, sehingga tidak terlihat
kelas antara golongan masyarakat yaitu apakah dia seorang petani atau
pegawai karena semua membaur menjadi satu. Tentunya hal tersebut tidak
terlepas dari wujud kreatifitas dan kerja sama yang dilakukan oleh
seluruh elemen masyarakat desa Ngasem dalam paguyuban kuda lumping Sedyo
Rukun untuk menarik perhatian masyarakat agar kesenian tersebut menjadi
kesenian yang menyenangkan.
Kesenian kuda lumping Sedyo Rukun juga
tidak terlepas dari unsur-unsur nilai agama islam yang terkandung
didalamnya. Ketika para penari jaranan mulai menari sesuai dengan
iringan lagu gamelan dengan gerak tari yang enerjik, mereka akan
diiringi oleh nyanyian-nyanyian yang dinyanyikan oleh seorang sinden
perempuan maupun laki-laki berupa lagu-lagu jawa dan lagu-lagu yang
syairnya bernuansa lagu Sholawatan. Sampai biasanya akan diikuti hal-hal aneh seperti para penari yang mulai kesurupan atau Ndadi
(trance) sebagai akhir dari prosesi penampilan tari kuda lumping. Saat
para penari tersebut mulai kesurupan, untuk memulihkan kesadarannyapun
akan disembuhkan oleh seorang dukun. Dukun tersebut dalam memulihkan
kesadaran penari yang kesurupan, biasanya menggunakan media perantara
seperti kemenyan, pecut, bunga tujuh rupa atau sesuai permintaan si
penari yang kesurupan. Unsur-unsur islam dari kesenian kuda lumping
tersebut adalah sebagai akibat dari akulturasi kebudayaan. Sehingga
didalamnya terkandung makna-makna islami sebagai pesan yang
dikomunikasikan melalui bentuk keindahan sebuah kesenian tradisional.
Wujud tuhan tidak akan mampu dibuktikan oleh kreasi berfikir akal
melainkan ada pada rasa manusia sebagai ekspresi ruh manusia. Ekspresi
ruh ini memandang keindahan yang ada pada alam, hidup dan manusia yang
menghantar kita menuju pertemuan yang sempurna antara kebenaran dan
keindahan.
Pada kesenian kuda lumping (Jaranan) Sedyo
Rukun juga ditampilkan tidak hanya suatu bentuk kreasi kesenian semata,
tetapi ada suatu wujud nilai-nilai yang terkandung di dalam struktur
masyarakat jawa yaitu nilai kebersamaan, nilai solidaritas dan nilai
kerukunan (rukun). Nilai kebersamaan terwujud dengan adanya rasa
keinginan untuk bersama-sama membangkitkan kembali semangat dan
eksistensi kebudayaan kesenian kuda lumping yang semakin tergerus oleh
pesatnya perkembangan jaman, adanya keinginan bahwa kesenian kuda
lumping tidak boleh punah walaupun sudah banyak tokoh pelopornya yang
sudah banyak meninggal. Nilai solidaritas terwujud dari rasa solidaritas
yang tinggi tanpa memandang golongan maupun jabatan untuk senantiasa
menjaga eksistensi kesenian kuda lumping. Nilai kerukunan terwujud dari
banyak kalangan yang tidak hanya kalangan masyarakat bawah yang
menyaksikan kesenian tradisonal tersebut yang merupakan kesenian
merakyat. Dari berbagai golongan pekerjaan dan jabatan membaur menjadi
satu menyaksikan tontonan yang merakyat tersebut yang semakin hari
semakin jarang dijumpai.
Kesenian kuda lumping (jaranan)
Sedyo Rukun yang dahulu kala menjadi suatu bentuk kesenian tradisonal
yang sakral, dan digemari oleh kalangan masyarakat kelas bawah, seiring
dengan perkembangan jaman berubah menjadi suatu bentuk kesenian
tradisional yang merakyat dan dianggap dan digemari oleh seluruh lapisan
masyarakat tanpa terkecuali dan mampu hadir dalam bentuk kesenian yang
menyenangkan semua lapisan masyarakat serta laku dijual dalam bentuk
hiburan. Selain itu ada makna sebagaimana ajaran atau moral agama islam
seperti halnya lagu-lagu jawa yang dinyanyikan dengan syair-syair yang
berbentuk Sholawatan. Kesenian kuda lumping (Jaranan)
Sedyo Rukun juga ditampilkan tidak hanya suatu bentuk kreasi kesenian
semata, tetapi ada suatu wujud nilai-nilai yang terkandung di dalam
struktur masyarakat jawa yaitu nilai kebersamaan, nilai solidaritas dan
nilai kerukunan (rukun).
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat.1994.Kebudayaan Jawa.Jakarta:Balai Pustaka.
Jurnal komunitas sosiologi dan
antropologi “budaya kekerasaan dalam persperktif nilai-nilai dan etika
masyarakat jawa” Nugroho Trisno Brata.
https://gdeandip.wordpress.com/2013/03/06/antropologi-simbolik (diunduh pada tanggal 19 April 2015 pukul 14.30)
http://etnobudaya.net/2008/04/01/konsep-kebudayaan-menurut-geertz (diunduh pada tanggal 19 April 2015 pukul 14.30 oleh Adi Prasetijo (rasetijo@gmail.com">prasetijo@gmail.com))
Artikel disusun untuk memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah Struktur Masyarakat Jawa
di kutip dari : http://blog.unnes.ac.id/anggraeni/2015/11/16/kesenian-kuda-lumping-jaranan-sedyo-rukun-dalam-nilai-nilai-budaya-jawa-dan-ajaran-islam/
0 komentar:
Posting Komentar