Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Seni Jaranan itu mulai muncul
sejak abad ke 10 Hijriah. Tepatnya pada tahun 1041. atau bersamaan dengan
kerajaan Kahuripan dibagi menjadi 2 yaitu bagian timur Kerajaan Jenggala dengan
ibukota Kahuripan dan sebelah Barat Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan Ibukota
Dhahapura.
Sejarah
Raja Airlangga
memiliki seorang putri yang bernama Dewi Sangga Langit. Dia adalah orang kediri
yang sangat cantik. Pada waktu itu banyak sekali yang melamar, maka dia mengadakan
sayembara. Pelamar-pelamar Dewi Songgo Langit semuanya sakti. Mereka sama-sama
memiliki kekuatan yang tinggi. Dewi Songgo Langit sebenarnya tidak mau menikah
dan dia Ingin menjadi petapa saja. Prabu Airlangga memaksa Dewi Songgo Langit
Untuk menikah. Akhirnya dia mau menikah dengan satu permintaan. Barang siapa
yang bisa membuat kesenian yang belum ada di Pulau Jawa dia mau menjadi
suaminya.
Ada beberapa
orang yang ingin melamar Dewi Songgo Langit. Diantaranya adalah Klono Sewandono
dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong Dari Blitar, kalawraha seorang
adipati dari pesisir kidul, dan 4 prajurit yang berasal dari Blitar. Para
pelamar bersama-sama mengikuti sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit.
Mereka berangkat dari tempatnya masing-masing ke Kediri untuk melamar Dewi
Songgo Langit.
Dari beberapa
pelamar itu mereka bertemu dijalan dan bertengkar dahulu sebelum mengikuti
sayembara di kediri. Dalam peperangan itu dimenangkan oleh Klana Sewandono atau
Pujangganom. Dalam peperangan itu Pujangganom menang dan Singo Ludoyo kalah.
Pada saat kekalahan Singo Ludoyo itu rupanya singo Ludoyo memiliki janji dengan
Pujangganom. Singa Ludoyo meminta jangan dibunuh. Pujangganom rupanya
menyepakati kesepakatan itu. Akan tetapi Pujangganom memiliki syarat yaitu
Singo Barong harus mengiring temantenya dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.
Iring-iringan
temanten itu harus diiringi oleh jaran-jaran dengan melewati bawah tanah dengan
diiringi oleh alat musik yang berasal dari bambu dan besi. Pada zaman sekarang
besi ini menjadi kenong. Dan bambu itu menjadi terompet dan jaranan.
Dalam perjalanan
mengiringi temantenya Dewi Songgo Langit dengan Pujangganom itu, Singo Ludoyo
beranggapan bahwa dirinya sudah sampai ke Wengker, tetapi ternyata dia masih
sampai di Gunung Liman. Dia marah-marah pada waktu itu sehingga dia
mengobrak-abrik Gunung Liman itu dan sekarang tempat itu menjadi Simoroto.
Akhirnya sebelum dia sampai ke tanah Wengker dia kembali lagi ke Kediri. Dia
keluar digua Selomangklung. Sekarang nama tempat itu adalah selomangkleng.
Karena Dewi
Songgo Langit sudah diboyong ke Wengker oleh Pujangganom dan tidak mau menjadi
raja di Kediri, maka kekuasaan Kahuripan diberikan kepada kedua adiknya yang
bernama Lembu Amiluhut dan Lembu Amijaya. Setelah Sangga Langit diboyong oleh
Pujangganom ke daerah Wengker Bantar Angin, Dewi Sangga Langit mengubah nama
tempat itu menjadi Ponorogo Jaranan muncul di kediri itu hanya untuk
menggambarkan boyongnya dewi Songgo langit dari kediri menuju Wengker Bantar
Angin. Pada saat boyongan ke Wengker, Dewi Sangga Langit dan Klana Sewandana
diarak oleh Singo Barong. Pengarakan itu dilakukan dengan menerobos dari dalam
tanah sambil berjoget. Alat musik yang dimainkan adalah berasal dari bambu dan
besi. Pada zaman sekarang besi ini menjadi kenong.
Untuk mengenang
sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit dan Pernikahanya dengan Klana
Sewandono atau Pujangga Anom inilah masyarakat kediri membuat kesenian jaranan.
Sedangkan di Ponorogo Muncul Reog. Dua kesenian ini sebenarnya memiliki akar
historis yang hampir sama. Seni jaranan ini diturunkan secara turun temurun
hingga sekarang ini.
Jaranan Dan Representasi Abangan
Jaranan pada
zaman dahulu adalah selalu bersifat sakral. Maksudnya selalu berhubungan dengan
hal-hal yang sifatnya gaib. Selain untuk tontonan dahulu jaranan juga digunakan
untuk upacara-upacara resmi yang berhubungan dengan roh-roh leluhur keraton.
Pada zaman kerajaan dahulu jaranan seringkali ditampilkan di keraton.
Dalam praktik
sehari-harinya para seniman jaranan adalah orang-orang abangan yang masih taat
kepada leluhur. Mereka masih menggunakan danyangan atau punden sebagai tenpat
yang dikeramatkan. Mereka masih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap
roh-roh nenek moyangnya. Mereka juga masih melaksanakan praktik-praktik
slametan seperti halnya dilakukan oleh orang-orang dahulu.
Pada
kenyataanaya seniman jaranan yang ada di kediri adalah para pekerja kasar
semua. Mereka sebagian besar adalah tukang becak dan tukang kayu. Ada sebagian
dari mereka yang bekerja sebagai sebagai penjual makanan ringan disepanjang
jalan Bandar yang membujur dari utara ke selatan.
Cliford Geertz
mengidentifikasi mereka dengan sebutan abangan. Geertz memberikan penjelasan
tentang praktik abangan. Masayarakat abangan adalah suatu sekte politio-religius
di mana kepoercayaan jawa asli melebur dengan Marxisme yang Nasionalistis yang
memungkinkan pemeluknya sekaligus mendukung kebijakan komunisdi Indonesia.
Sambil memurnikan upacara-upacara abangan dari sisa-sisa Islam (Geertz 1983).
Dalam perkembanganya
kesenian jaranan mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan kondisi social
masyarakat yang sudah berubah dalam memaknai dan mengambangkan jaranan. dari
tahun-ke tahun jaranan mulai berubah dari yang sifatnya tuntunan menjadi
tontonan dan yang paling menarik adalah jaranan sebagai alat untuk menarik
simpatisan dan untuk pengembangan pariwisata.
Jaranan pada
tahun 1960-an menjadi alat politik PKI untuk menopang kekuasaanya dan menarik
masa. Pada tahun-tahun itu kebijakan Sukarno tentang Nasakom sangat
mempengaruhi keberadaan lembaga-lembaga yang ada di bawah. Dari nasionalisme,
Agama dan komunis ini, memiliki lembaga-lembaga sendiri. Kelompok itu memiliki
basis kesenian sendiri-sendiri. Lekra, lesbumi dan LKN adalah lembaga kesenian
yang ada di tingkat bawah.
Pada tahun itu
jaranan sudah ada dan kebetulan bernaung dibawah pengawasan Lekra. Jaranan pada
saat itu sudah sangat digemari masyarakat. Bahkan dikediri pada saat itu sudah
berdiri beberapa kelompok jaranan. kelompok jaranan ini banyak digawangi oleh
orang-orang yang berada di lembaga kesenian. Dari ketiga lembaga kesenian yang
ada, semuanya memiliki kesenian sendiri-sendiri yang sesuai dengan misinya
masing-masing.
Pada tahun 60an
itu masing-masing kelompok jaranan berkontestasi dengan sehat. Walaupun mereka
berasal dari lembaga kesenian yang berbeda, tapi pada saat itu mereka masih
bisa berbagi ruang dan berkontestasi. Mereka saling mendukung dan mengembangkan
kreatifitasnya dalam berkesenian. Jaranan pada saat itu masih tampil dengan
polos sekali. Pemainya hanya mengenakan celana kombor dan tanpa make up. Tidak
ada batas antara pemain, penabuh dan penonton. Mereka sama-sama berada di
tanah. Mereka bisa saling tukar main antara satu dengan lainya. Berbeda dengan
zaman jepang pada yang masih menggunakan goni sebagai pakaiannya. Pada
tahun-tahun 60an jaranan bisa tampil vulgar di manapun dia berada.
Pada tahun 1965
terjadi peristiwa pembersihan dari kalangan agamawan kepada kelompok-kelompok
abangan. Pembersihan ini dilakukan tas kerjasamama Negara dengan kaum agamawan.
Akibat dari pembersihan itu masyarakat abangan yang ada di Kediri pada saat itu
sempat kocar-kacir. Terlebih pada orang-orang yang memang bergelut di lembaga
PKI ataupun pernah terlibat.
Orang-orang yang
terlibat sebagai anggota partai komunis dibunuh. Para seniman-seniman yang
berada dibawah PKI yaitu Lekra dihabisi semua. Danyangan dan beberapa punden
banyak yang dirusak. Bahkan patung-patung dan arca yang sekarang berada di
museum Airlangga terlihat banyak yang hancur. Ini adalah akibat pertikaian
politik 1965. segala property yang berhubungan dengan tradisi orang abangan
dimusnahkan. Termasuk didalamnya adalah jaranan.
Setelah kejadian
berdarah tahun 1965 itu jaranan yang dahulu adalah kesenian yang sangat
dibangggakan masyarakat hilang seketika. Jaranan adalah representasi dari kaum
abangan yang mencoba untuk memberikan eksistensi dirinya pada kesenian. Mereka
benar-benar mengalami trauma yang berkepanjangan. Sehingga kesenian jaranan
pada paska 65 mundur. Kondisi politik 65 ini telah membawa jaranan pada titik
kemandekanya. Kecuali jaranan yang bernaung di bawah komunis aman dari
pembersihan ini. Keberadaan jaranan pada saat itu juga masih relative sedikit.
Trauma itu ternyata tidak dirasakan oleh orang-orang yang berasal dar lekra saja.
Seniman dari lesbumi dan LKN waktu itu juga agak ketakutan untuk tampil di
public. Kebanyakan dari seniman yang ada dikediri pada waktu itu juga berhenti
dari kesenian untuk semantara waktu.
Pasca peristiwa
berdarah itu seluruh elemen masyarakat memberikan identifikasi yang negatif
terhadap kesenian jaranan. dari kalangan agamawan. Para agamawan beranggapan
bahwa jaranan itu mengundang setan. Sehingga wajar jika pada saat itu para
agamawan terlebih ansor menghabisi seniman-seniman yang berbau komunis di
kediri.
Negara yang
mulai memberikan pengngontrolan seniman dengan membuatkan Nomor Induk Seniman
(NIS) pada kurun waktu tahun 1965-1967. Dengan memberikan NIS ini pemerintah
bisa mengontrol lebih jauh seniman yang terlibat dengan komunis. Bagi yang tidak
memiliki NIS biasanya mereka dikasih nomor aktif sebagai seniman. "Tanpa
memiliki kartu ini, seniman tidak boleh tampil di ruang publik" kata Mbah
Ketang.
Praksis paska 65
jaranan jarang sekali tampil di ruang public. Seniman-seniman jaranan yang
berasal dari LKN mungkin masih bisa berunjuk kebolehanya di ruang public.
Misalnya jaranan Sopongiro di Bandar dan jaranan Turnojoyo Pakelan. Dua jaranan
ini bisa eksis dan tidak terberangus pada tahun 65 karena mereka adalah
kelompok kesenian yang berasal dari LKN.
Stigmatisasi
yang dikembangkan oleh agamawan dan Negara rupanya telah meberangus nalar
masyarakat. Paska 65 masyarakat secara tidak langsung memberikan identifikasi
negatif terhadap kesenian jaranan. Mereka masih menganggap bahwa kesenian
jaranan itu adalah kesenian milik PKI.
Masyarakat tidak
mau dicap merah oleh pemerintah dan kaum agamawan sebagai pengikut PKI.
Akhirnya kesenian jaranan dijauhi oleh masyarakat. Pasca terjadi peristiwa
berdarah rtahun 1965 itu, kesenian jaranan mulai lumpuh total. Baru pada tahun
1977 jaranan mulai menggeliat lagi. Jaranan menjadi sebyuah idiom baru yang
tampil berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Jaranan pada tahun sebeliumnya
banyak berafiliasi dengan komunis akan tetapi pada tahun itu jaranan mulai
menggandeng militer untuk dijadikan alat untuk melindungi dirinya.
Dan musikpun
sudah mulai dilakukan. Para seniman jaranan mulai memodifikasi jaranan dari
pakaian, make up, dan tarian serta musiknya. Dalam berebagai pertunjukan
jaranan pemain jaranan harus memiliki sifat yang arif, sopan dan memiliki tata
karama yang tinggi kepada masyarakat dan para penanggap. Sifat itu harus
diperankan oleh para Dalam rangka memperbaiki citra jaranan di muka masyarakat,
seniman jaranan mulai menghaluskan jaranan. Pada senimaSelainn dalam berbagai
waktu dan kesempatan.
Samboyo Spirit Baru Jaranan Kepang Kediri
Dalam rangka
memperbaiki citra jaranan di muka masyarakat, seniman jaranan mulai
menghaluskan jaranan. Pada tahun 70an gerakan untuk merevitalisasi jaranan
sudah mulai diupayakan. Penghalusan dalam wilayah tarian, dandanan dan musikpun
sudah mulai dilakukan. Para seniman jaranan mulai memodifikasi jaranan dari
pakaian, make up, dan tarian serta musiknya. Dalam berebagai pertunjukan
jaranan pemain jaranan harus memiliki sifat yang arif, sopan dan memiliki tata
karama yang tinggi kepada masyarakat dan para penanggap. Sifat itu harus
diperankan oleh para seniman dalam berbagai waktu dan kesempatan.
Selain strategi
berselingkuh dengan militer, jaranan juga memiliki strategi lain yaitu dengan
cara menghaluskan tarianya, musiknya, dan danadananya serta tingkah lakunya
harus lebih baik. Penghalusan ini dilakukan oleh seniman jaranan karena pada
saat-saat itu monitoring dari pewemerintah masih sangat kuat. Untuk
menghilangkan stigma itu seniman harus melakukan strategi itu untuk menjaga
kesenian jaranan.
Kemudian pada
tahun 1977 setelah berdirinya Samboyo Putro, jaranan mulai mendapat pengakuan
dari masyarakat dan pemerintah. Jaranan Samboyo Putro ini didirikan oleh mantan
polwil Kediri dari Bandar Lor yang bernama pak Sukiman (samboyo). Dengan adanya
jaminan dari pihak kepolisian inilah jaranan mulai berani bertengger di kediri
bersaing dengan kesenian lainya. Jaranan Samboyo itu dahulu mendapatkan wangsit
dari Pamenang Joyoboyo. Pak Sukiman mendapatkan wahyu dari Pamenang agar
mendirikan jaranan dan menguri-uri kesenian asli kediri ini dan untuk
memperbaiki citra kesenian jaranan yang dahulu dianggap jelek atau ilmu sesat
di mata masyarakat.
Atas wangsit
yang berasal dari Pamenang itulah Sukiman berusaha sekuat tenaga untuk
mengembalikan citra negative masyarakat terhadap kesenian jaranan. Pak sukiman
mulai berafiliasi dengan pemerintah, agamawan serta masyarakat untuk mendukung
eksistensi jaranan di kediri.pasca tahun 1977 inilah jaranan mulai bisa
dipercayai sepenuhnya oleh masyarakat kediri sebagai kesenian yang bebas dari
komunis.
Dahulu sebelum
ada pertunjukan jaranan seluruh personel jaranan pasti pergi ke pamenang
terlebih dahulu. Kalau sekarang hanya dilakukan oleh para gambuhnya saja.
Perubahan ini disebabkkan lebih pada ketakutan pemain jika menjadi korban
pamenang. Pemain-pemain itu takut kalu suatu saat dia mengingkari janjinya
dengan pamenang.
Pada saat
berdirinya jaranan samboyo putro tahun 1977 itu, Pak sukiman berusaha keras. Usaha
ini lebih dimaksudkan untuk mengambalikan citra jaranan yang sudah buruk di
muka masyarakat. Salah satu cara pak Samboyo pada saat itu adalah dengan cara
mengadakan dukun tiban. Inspirasi tentang dukun tiban itu dia dapatkan dari
pamenang. (Pardi dan Endah)
Pada masa
kejayaan Samboyo Putro pernah memperoleh beberapa prestasi yang gemilang.
Beberapa tahun setelah berdirinya Samboyo, langsung mendapatkan Juara 1
festifal jaranan sejawa Timur. Kemudian dalam perjalananya mulai tahun 1977
sampai 1990 Samboyo Putro pernah tanggapan sebanyak 1674 kali. Selain itu
Samboyo Putro Personelnya banyak yang melatih jaranan ke komunitas-komunitas
kesenian jaranan lain di Kediri.
Hingga kini
masyarakat menyakini bahwa jaranan samboyo Putro itu memiliki jasa yang sangat
besar untuk mengambalikan citra jaranan di kediri. Pandangan agamawan dan
Negara serta masyarakat yang dahulu memandang jaranan sebagai kesenian yang
jelek, akhirnya berubah haluan. Paska tahun 1977 ini, masyarakat mulai
memandang bahwa jaranan ini adalah kesenian yang berasal dari kediri.
Keberadaan kesenian ini harus tetap dilestarikan keberadaanya.
Pada masa
kejayaan Samboyo putro pada tahun 1985 pak sukiman dahulu memiliki hubungan
erat dengan pak sudiono (ngetrep lor-prambon-nganjuk). yang sekarang menjadi
pemimpin samboyo putro dari tahun 1990-an sampai sekarang). hubungan erat
seperti keluarga sendiri,karena sebelum pak sudiono menjadi pemimpin samboyo
putro pengganti pak sukiman,pak sudiono dulu bekerja sebagai bisnis
kayu,apabila pak sudiono mengadakan tebang pilih pohon dihutan,pak sukiman
selalu memberikan izin tebang pohon,sebaliknya. Apabila pak sukiman membutuhkan
bahan baku untuk membuat barongan/klono,pak sudiono selalu membantu memilih
kayu.
Ketika diacara
pementasan Samboyo Putro, pak sukiman selalu mengundang pak sudiono supaya
hadir diacara tersebut, padahal waktu itu pak sudiono kurang berminat dengan
kesenian jaranan. Kemudian di sela-sela acara, ketika pementasan berlangsung
pak sukiman berkata sambil bercanda "No..!!! samboyo ki mbesok sing
ngopeni wong nganjuk loh...!" pak sudiono tidak tahu kalau yang dimaksut
pak sukiman adalah dirinya sendiri, kemudian pak sukiman mengajak pak sudiono
ke petilasan sri aji joyoboyo di pamenang. "olehku biyen ki ko kene
loh...!" kata pak sukiman,pak sudiono tidak mengerti apa yang dimaksud.
ketika perjalanan pulang, pak sudiono tidur kaget dalam mimpi pak sudiono
memegang pecut/cemethi dan memakai baju bopo/gambuh. yang diartikan generasi
penerus samboyo putro setelah pak sukiman adalah pak sudiono sendiri.
Pada tahun 1990
Pak samboyo atau pak sukiman meninggal,dan samboyo putro hampir bubar, karena
personel/gambuh banyak yang tidak mau meneruskan,mereka memilih bubar atau
mendirikan grup jaranan lain. kemudian samboyo putro sementara dipimpin oleh
pak sumantri atau pak tri,tetapi tidak berangsur lama,setelah banyak
konflik-konflik yang berlanjut,akhirnya pak tri hanya memimpin samboyo putro
selama 2 tahun.
Kemudian pak
sudiono mendapat wangsit dari pamenang. Dalam wangsitnya pak samboyo harus
meneruskan generasi samboyo putro,tetapi dalam arti samboyo putro harus
diboyong di daerah asal pak sudiono di ngetrep lor-prambon-nganjuk. karena pada
saat masa itu banyak sekali saingan antar grup jaranan dan konflik yang
berlanjut,akhirnya pak sudiono memboyong semua peralatan samboyo putro dari
bandar lor (kediri kota) ke ngetrep lor-kurungrejo-prambon (nganjuk) dan
memulailah pak sudiono merintis kembali samboyo putro yang dulu vakum selama
satu tahun kemudian dihidupkan kembali. untuk mengenang jasa pak sukiman,pada
barongan samboyo putro (barongan samboyo putro yang bernama mbah legi,pak dhe
sukiman,dan pakdhe cokro miharjo) diberi nama "bhayangkara" yang
artinya keberanian melawan bebaya/marabahaya. Dahulu samboyo putro pernah
mendapatkan penghargaan dari sinuwun HamengkuBuwono X berupa kenang-kenangan
berwujud logo keraton ngayogjakarta. barongan mbah legi mendapatkan sematan
langsung dari sinuwun H.B X sendiri.
setelah pak
sukiman pendiri samboyo putro meninggal pada tahun 1990. sebagian grup ini
bereankarnasi dan terpecah belah menjadi grup jaranan lain di bandar lor
seperti SANJOYO PUTRO yang dahulu didirikan oleh pak sarpan.
Sebelum samboyo
berdiri jaranan pakelan adalah jaranan yang sudah bisa berdiri dengan eksis di
kediri. Para pemain jaranan pakelan itu rata-rata dahulu berasal dari LKN.
Samboyo bubar pada tahun 1990an bersamaan dengan meninggalnya bapak Samboyo
sebagai pimpinan jaranan itu. Pasca Samboyo bubar, kesenian jaranan sudah mulai
merebak hampir diseluruh desa yang ada di kota kediri memiliki jaranan
masing-masing. Akan tetapi mereka juga masih berkiblat dan memiliki karakter
seperti jaranan Samboyo. (Pardi dan endah)
Kreasi Baru dan Proyek Dinas Pariwisata Kediri
Dalam pandangan
Mbah Ketang, Gerakan joget pada jaranan itu adalah pakem dan tidak bisa diubah.
Kalau jaranan Wijaya Putra itu memiliki 24 macam gerakan. Berubahnya jaranan
itu hanya pada peralatan yang dimainkan saja. Kalau Wijaya Putra dan Sanjaya
Putra masih mempertahankan pakem yang ada pada jaranan. kepakeman jaranan akan
senantiasa dipertahankan oleh Sanjaya Putra da Wjaya Putra. Kedua jaranan ini
beranggapan bahwa joged yang sekarang mereka gunakan itu adalah warisan dari
leuhurnya. Pakem yang ada itu bagi 2 Komunitas ini harus selalu digunakan pada
saat-saat pertunjukan. Kalau pakemnya sudah habis ditampilkan baru boleh
memberikan jaranan yang sudah dikombinasi. Bagi Samboyo dan Wijaya meninggalkan
yang pakem itu sangat menghilangkan naluri jaranan dan menghina tinggalan nenek
moyang mereka.
Berbeda halnya
dengan Jayoboyo Putra yang lebih suka berkreasi dengan model-model baru.
Jaranan ini mencoba untuk mengawinkan antara kesenian tradisional dengan
modern. Misalnya dalam lagu-lagunya dicampur dengan samroh ataupun dicampur
dengan dangdut. Hal ini dilakukan oleh Joyoboyo Putro untuk mengikuti
permintaan pasar. Ranggalawe juga memiliki paradiga yang sama dengan Joyoboyo
Putro. Dia lebih mengembangkan kesenian pada proyek modifikasi tarianya.
Perkembangan
jaranan paska tahun 1977 meluncur pesat. Kemunculan jaranan kreasi baru ini tidak
lepas dari apa yang dinginkan penonton ataupun yang diinginkan oleh zamanya.
Seniman jaranan biasanya lebih suka bermain dengan jaranan pakem. Akan tetapi
biasanya kelompok seniman jaranan itu memiliki 2 versi. Pertama versi baru
yaitu versi kolaborasi dengan kesenian modern. Kalau yang modern biasanya
ditambah dengan sinden, dram dan keyboard. Yang kedua adalah versi jaranan
pakem. Kesenian jaranan pakemanya menggunakan ketuk kenong, gong gumbeng,
kendang dan terompet.
Untuk masalah
tarianya nanti disesuaikan dengan pakemnya kelompok masing-masing. Misalnya,
jaranan wijoyo Putro 24 gerakan, Sanjoyo Putro 24 gerakan, Joyoboyo 14 gerakan,
ronggolawe malaah cumin sedikit antara 5-6 gerakan saja. Seniman jaranan selalu
memberikan tawaran kepada para penanggap untuk meimilih versi yang mana.
Kalau pada saat
gebyakan atau pada saat upacara nazar mereka selalu menggunakan yang pakem.
Kalau pada saat tanggapan mereka menyerahkan kepada penanggapnya memili yang
mana. Akan tetapi mereka memiliki pakem sendiri-sendiri dalam jogedanya.
Jaranan dahulu
untuk penabuhnya tidak ada panggungnya seperti sekararang. Mulai tahun 1980an
jaranan sudah mulai ada panggungnya untuk penabuh. Panggung ini dimaksudkan
agar penabuh dapat leluasa dalam melihat gerakan pemain jaranan. Jaranan di
sini tidak ada yang berada di atas panggung seperti jaranan Safitri Putro.
Kalau jaranan Safitri Putro itu bukan jaranan namanya. Kalau Cuma nari saja dan
tidak ada ndadinya namanya adalah campur sari. karena yang namanya jaranan itu
harus ada yang ndadi kalau tidak ada yang ndadi itu namanya bukan jaranan.
Persaingan antar
seniman jaranan satu dengan yang lainya rupanya cukup tinggi. Berbagai kelompok
jaranan yang memikliki bos, mereka lebih berani untuk membanting harga. Bagi
jaranan yang sifatnya paguyuban seperti halnya jaranan Wijaya Putra. Akan
keberatan dengan penjatuhan harga seperti ini. Para seniman tidak akan bisa
makan apa-apa kalau harga tanggapan itu anjlok.
Tarif tanggapan
untuk jaranan Wijaya Putra itu berkisar antara 1500.000 sampai 1000.000 rupiah.
Sedangkan kalau ada jaranan lain yang memiliki bos, pasti berani mengambil di
bawahnya. 800.000 sampai 600.000 itu bisa diladeni. "Saya kasihan dengan
jaranan-jaranan yang kecil-kecil itu. Karena saya kira jaranan yang kecil itu
nanti tidak akan bisa hidup" kata pak gendut dari jaranan Wijaya Putra
itu.
Jaranan Dalam Proyek Pariwisata
Pemerintah kota
kediri dengan menggunakan organya DK3 (Dewan Kesenian Kota Kediri) beserta
Dinas Pariwisata akan membuat semacam buku panduan untuk jaranan. Buku ini akan
mengulas banyak tentang pakem jaranan khas kediri. Mereka bersama timnya sudah
mempersiapkan segalanya unruk membuat buku itu.
Proyek pemakeman
jaranan ini direncanakan pada tahun 2008 nanti. Selama ini yang sudah dilakukan
oleh dinas pariwisata Kediri untuk melakukan pakemisasi jaranan adalah dengan
menggali data-data yang ada. Data-data itu mereka dapatkan dari para sesepuh
jaranan. "Kita tidak bisa sembarangan untuk menentukan semuanya itu. Usaha
kita adalah mengumpulkan para sesepuh untuk membincang bareng tentang kesenian
jaranan. Kemudian diseminarkan dan disepakati bersama'. Ujar Pak Guntur.
Rencana
pemakeman ini akan melibatkan berbagai tokoh sesepuh seniman jaranan dan
sejarawan. Mereka juga mengupayakan agar pemakeman ini bisa benar-benar tidak
meninggalkan tradisi yang ada pada kesenian di Kediri. Sebelum pemakeman itu
dilakukan dinas pariwisata akan menggali sejarah kota kediri teerlebih dahulu.
Program Dinas
Pariwisata untuk tahun ini dan 1 tahun mendatang adalah mencari pakem jaranan
terlebih dahulu. Untuk pengembangan dan pembimbingan pada jaranan-jaranan yang
ada Kediri, dinas pariwisata mengundang kelompok-kelompok jaranan untuk tampil
Taman Wisata Selomankleng setiap Minggu. Komunitas jaranan itu disuruh tampil
untuk mengisi hiburan di Selomangleng secara bergiliran.
Pada saat-saat
tertentu Dinas pariwisata juga mengajak para seniman jaranan untuk tampil
mengisi hiburan di Taman Mini Indonesia Indah. Pada saaat jaranan tampil di
taman mini sudah berbeda dengan jaranan yang ada disini. Mereka sudah
dikolaborasi dengan tari-tarian lain.
Bagi kami
jaranan itu yang penting adalah dimunculkan saja supaya keberadaanya tetap bisa
lestari. Pada saat ini pemerintah kota kediri sedang mempelajari dan menggali
kesenian jaranan yang khas Kediri. Baik itu dari segi pakaianya, jogednya
maupun alat musik yang dimainkan. Proyek ini masih terhenti karena dana yang
diajaukan untuk mengerjkakan ini belum turun dari pemerintahan kota Kediri.
Dana pembakuan Jaranan ini akan dianggarkan pada RAPBD tahun depan.
Kita memerlukan
dokumentasi, dana dan lain sebagainya. Kita rencananya akan mengupas sejarah
jaranan dari sungai Brantas. Kita akan melihat perkembangan jaranan dari zaman
Praislam. Jaranan Kediri memiliki pakem sendiri-sendiri. Kita sudah mulai merancang
jaranan masing-masing misalnya yang pegon tidak memakai baju, untuk yang
jaranan door dan senterewe masih kami pikirkan bersama teman-teman seniman
jaranan. kata pak Guntur Dinas Pariwisata akan merumuskan secara bersama-sama
dengan seniman jaranan kemudian menyepakatinya. Dinas Pariwisata sebenarnya
hanya memfasilitasi mereka dan jangan sampai muncul bahwa ide pakemisasi ini
adalah proyek Dinas Pariwisata. Mereka akan bermusyawarah dengan para seniman
dalam menetapkan kesenian jaranan. Sebenarnya kita berpikir jauh kedepan untuk
menjaga keberadaan jaranan pada tahun-tahun yang akan datang.
Dinas pariwisata
beranggapan, kalau tidak ada pakem sendiri jaranan ini nanti akan semakin jauh
dari aslinya. Karena tidak ada buku petunjuk jaranan. Mereka hanya
mengembangkan tradisi lisan. Sedangkan tradisi lisan itu akan senantiasa
berubah setiap tahunya.
Setiap jaranan
memiliki pakem masing-masing dan tidak mau mereka diseragamkan antara kesenian
jaranan yang satu dengan yang lainya. Menurut pak Guntur bahwa kesenian jaranan
itu memang memiliki pakem masing-masing akan tetapi saya mencoba urntuk bisa
masuk dengan pelan-pelan agar mereka bisa menerima saya. Misalnyua pada saat
pertemuan saya dengan para seniman beberapa waktu yang lalu. Saya pernh
mengetes mereka untuk menunjukan tarianya di depan forum. Saya meminta misalnya
yang beraliran pegon maju. Mereka antara pegon jaranan satu dengan yang lainya
berbeda. Senterewe juga berbeda satu sama lainya. Dalam perbedaan itu mereka
berdebat sengit dan saling menunjukan bahwa jarananya yang paling benar pakem.
Setiap ada
festifal jaranan saya mengumpulkan para seniman dan mengajak mereka supaya bisa
menyeragamkan tarian jaranan. Pada saat festifal kemarin para juri kebingungan
untuk menilai jaranan mana yang baik. Karena setiap jaranan memiliki karakter
masing-masing. Sehingga kita tidak bisa melihat mana yang harus dinilai.
Akhirnya siapa yang baik itu yang menang. Tapi mereka juga banyak yang protes
tentang penilaian juri. Karena mereka juga menganggap bahwa jarananya yang
memiliki tarian paling bagus akan tetapi tidak menang dalam festifal.
Pemerintah
daerah itu haruslah pandai-pandai memasarkan kesenian daerah. Jadi tidak hanya
kesenian yang sudah tenar saja yang kita suruh main. Juga bagi mereka-mereka
yang belum punya nama harus kita angkat. Saya tidak memandang kualitas yang ada
akan tetapi saya selalu memberikan contoh pada jaranan yang kecil supaya
mengikuti jaranan yang sudah besar.
Seniman di
Kediri ini seringkali pindah-pindah ruang. Maksudnya mereka selalu mengiikuti
kesenian mana yang populis dan digemari masyarakat. Kalau dahulu ludruk ya
seluruh seniman banyak yang di ludruk. Kalau sekarang ludruk dilarang main,
mereka beramai-ramai pindah pada seniman jaranan.[1]
Apakah Tari Jaranan itu?
Tari Jaranan
adalah kesenian tari tradisional yang dimainkan oleh para penari dengan menaiki
kuda tiruan yang tebuat dari anyaman bambu. Selain kaya akan nilai seni dan
budaya, tarian ini juga sangat kental akan kesan magis dan nilai spiritual.
Tari Jaranan ini merupakan kesenian yang sangat terkenal di Jawa Timur, di
beberapa daerah di Jawa Timur kesenian jaranan ini masih tetap hidup dan di
lestarikan. Salah satunya adalah kabupaten Kediri yang menjadikan tarian ini
sebagai tarian khas di sana.
Sejarah tentang
Tari Jaranan ini memiliki beberapa versi cerita yang berbeda. Menurut salah satu
cerita legenda yang berkembang di masyarakat, tarian ini menceritakan tentang
pernikahan Klono Sewandono dengan Dewi Songgo Langit. Dan penari berkuda pada
Tari Jaranan ini menggambarkan tentang rombongan prajurit yang mengiringi
boyongan Dewi Songgo Langit dan Klono Sewandono dari Kediri menuju wangker.
Tari Jaranan ini merupakan warisan nenek moyang yang masih tetap ada dan
berkembang hingga sekarang.
Dalam
pertunjukannya, Tari Jaranan ini dilakukan oleh sekelompok penari dengan
pakaian prajurit dan menunggangi kuda kepang. Sambil menunggangi kuda tersebut
mereka menari dengan gerakan yang dinamis dan selaras dengan music
pengiringnya. Selain menari mereka juga memainkan kuda kepang dengan gerakan
yang variatif. Dalam pertunjukan Tari Jaranan ini juga diiringi oleh berbagai
music gamelan seperti kenong, kendang, gong dan lain - lain. Dalam pertunjukan
Tari Jaranan ini sangat kental akan kesan magis dan nilai spiritualnya.
Sehingga tidak jarang pada saat pertunjukan para penari mengalami trance atau
kesurupan. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat jawa pada jaman
dahulu akan roh – roh para leluhur. Sehingga masyarakat menjadikan Tari Jaranan
ini sebagai alat komunikasi dengan leluhur mereka.
Dalam Tari
Jaranan ini juga terdapat seorang pawang atau yang sering di sebut dengan
Gambuh. Gambuh disini bertugas untuk melakukan ritual, berkomunikasi dengan
leluhur dan menyembuhkan penari yang kesurupan. Pada saat pertunjukan, sang
gambuh membacakan mantra dan memanggil roh leluhur untuk memasuki raga sang
penari. Setelah roh tersebut masuk ke raga sang penari maka penari akan menari
tanpa sadarkan diri, karena raga sang penari sudah dikendalikan oleh roh yang
memasukinya. Mereka akan menari sambil melakukan berbagai atraksi seperti makan
kembang, makan pecahan kaca dan lain - lain. Tanpa merasa sakit mereka
melakukan atraksi sambil menari didampingi sang Gambuh. Hal ini lah yang
menjadi keunikan dari jaranan. Selain sebagai acara hiburan, tarian ini juga
sebagai ritual dan penghormatan terhadap leluhur mereka.
Dalam
perkembangannya, Tari Jaranan ini masih tetap hidup dan dilestarikan di
beberapa daerah di Jawa Timur. Salah satunya adalah kabupaten Kediri yang
menjadikan Tari Jaranan ini sebagai icon kebanggan mereka. Tarian ini masih
dilestarikan dan dikembangkan oleh beberapa sanggar seni yang ada disana.
Setiap sanggar memiliki ciri khas dan pakem tersendiri dalam penampilannya, hal
ini lah yang menjadikan Tari Jaranan ini kaya akan nilai seni. Tari Jaranan ini
juga selalu tampil memeriahkan berbagai acara seperti pernikahan, sunatan,
penyambutan tamu besar, festival budaya dan lain – lain. Kecintaan masyarakat
terhadap kesenian ini yang membuat kesenian ini tetap hidup sampai sekarang.[2]
Tari jaranan
Tari jaranan
merupakan kesenian yang memiliki asal beragam dan sejarah yang cukup panjang.
Kesenian ini lahir saat kerajaan kuno Jawa Timur berdiri sehingga dapat
dikatakan bahwa kesenian ini adalah tradisi leluhur dari masyarakat Jawa Timur.
Di era modern ini masih ada masyarakat yang melestarikan kesenian daerah yang
sudah berumur ratusan tahun untuk mengingat sejarah dan asal usul kita. Kita
patut berbangga tentang hal ini, saat banyak orang lain melupakan kesenian ini,
kita masih berkesempatan mengenalnya.
Tari Jaranan
adalah kesenian tari tradisional yang dimainkan oleh para penari dengan menaiki
kuda tiruan yang tebuat dari anyaman bambu. Selain kaya akan nilai seni dan
budaya, tarian ini juga sangat kental akan kesan magis dan nilai spiritual.
Tari Jaranan ini merupakan kesenian yang sangat terkenal di Jawa Timur, di
beberapa daerah di Jawa Timur kesenian jaranan ini masih tetap hidup dan di
lestarikan. Salah satunya adalah kabupaten Kediri yang menjadikan tarian ini
sebagai tarian khas di sana.
Kesenian jaranan
adalah suatu seni tari yang menggunakan instrumen berupa anyaman bambu atau
daun pandan yang dibentuk sedemikian rupa hingga mirip seperti kuda. Tarian
jaranan ini populer di daerah Jawa bagian timur, mulai dari Ponorogo, Kediri,
Tulungagung, Nganjuk, Malang bahkan sampai Banyuwangi. Beberapa diantaranya
memang mirip, namun tentu saja masih ada beberapa perbedaan.
Sejarah Asal
Kesenian Tari Jaranan.
Seni Jaranan itu mulai muncul sejak abad ke 10
Hijriah. Tepatnya pada tahun 1041. atau bersamaan dengan kerajaan Kahuripan
dibagi menjadi 2 yaitu bagian timur Kerajaan Jenggala dengan ibukota Kahuripan
dan sebelah Barat Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan Ibukota Dhahapura.
Sejarah tentang
Tari Jaranan ini memiliki beberapa versi cerita yang berbeda. Menurut salah
satu cerita legenda yang berkembang di masyarakat, tarian ini menceritakan
tentang pernikahan Klono Sewandono dengan Dewi Songgo Langit. Dan penari
berkuda pada Tari Jaranan ini menggambarkan tentang rombongan prajurit yang
mengiringi boyongan Dewi Songgo Langit dan Klono Sewandono dari Kediri menuju
wangker. Tari Jaranan ini merupakan warisan nenek moyang yang masih tetap ada
dan berkembang hingga sekarang.
Raja Airlangga
memiliki seorang putri yang bernama Dewi Sangga Langit. Dia adalah orang kediri
yang sangat cantik. Pada waktu banyak sekali yang melamar, maka dia mengadakan
sayembara. Pelamar-pelamar Dewi Songgo Langit semuanya sakti. Mereka sama-sama
memiliki kekuatan yang tinggi. Dewi Songgo Langit sebenarnya tidak mau menikah
dan dia Ingin menjadi petapa saja. Prabu Airlangga memaksa Dewi Songgo Langit
Untuk menikah. Akhirnya dia mau menikah dengan satu permintaan. Barang siapa
yang bisa membuat kesenian yang belum ada di Pulau Jawa dia mau menjadi
suaminya.
Ada beberapa
orang yang ingin melamar Dewi Songgo Langit. Diantaranya adalah Klono Sewandono
dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong Dari Blitar, kalawraha seorang
adipati dari pesisir kidul, dan 4 prajurit yang berasal dari Blitar. Para
pelamar bersama-sama mengikuti sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit.
Mereka berangkat dari tempatnya masing-masing ke Kediri untuk melamar Dewi
Songgo Langit.
Dari beberapa
pelamar itu mereka bertemu dijalan dan bertengkar dahulu sebelum mengikuti
sayembara di kediri. Dalam peperangan itu dimenangkan oleh Klana Sewandono atau
Pujangganom. Dalam peperangan itu Pujangganom menang dan Singo Ludoyo kalah.
Pada saat kekalahan Singo Ludoyo itu rupanya singo Ludoyo memiliki janji dengan
Pujangganom. Singa Ludoyo meminta jangan dibunuh. Pujangganom rupanya
menyepakati kesepakatan itu. Akan tetapi Pujangganom memiliki syarat yaitu
Singo Barong harus mengiring temantenya dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.
Iring-iringan
temanten itu harus diiringi oleh jaran-jaran dengan melewati bawah tanah dengan
diiringi oleh alat musik yang berasal dari bambu dan besi. Pada zaman sekarang
besi ini menjadi kenong. Dan bambu itu menjadi terompet dan jaranan.
Dalam perjalanan
mengiringi temantenya Dewi Songgo Langit dengan Pujangganom itu, Singo Ludoyo
beranggapan bahwa dirinya sudah sampai ke Wengker, tetapi ternyata dia masih
sampai di Gunung Liman. Dia marah-marah pada waktu itu sehingga dia
mengobrak-abrik Gunung Liman itu dan sekarang tempat itu menjadi Simoroto.
Akhirnya sebelum dia sampai ke tanah Wengker dia kembali lagi ke Kediri. Dia
keluar digua Selomangklung. Sekarang nama tempat itu adalah selomangkleng.
Karena Dewi
Sonmggo Langit sudah diboyong ke Wengker oleh Puijangganom dan tidak mau
menjadi raja di Kediri, maka kekuasaan Kahuripan diberikan kepada kedua adiknya
yang bernama Lembu Amiluhut dan Lembu Amijaya. Setelah Sangga Langit diboyong
oleh Pujangganom ke daerah Wengker Bantar Angin, Dewi Sangga Langit mengubah
nama tempat itu menjadi Ponorogo Jaranan muncul di kediri itu hanya untuk
menggambarkan boyongnya dewi Songgo langit dari kediri menuju Wengker Bantar
Angin. Pada saat boyongan ke Wengker, Dewi Sangga Langit dan Klana Sewandana
dikarak oleh Singo Barong. Pengarakan itu dilakukan dengan menerobos dari dalam
tanah sambil berjoget. Alat musik yang dimainkan adalah berasal dari bambu dan
besi. Pada zaman sekarang besi ini menjadi kenong.
Untuk mengenang
sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit dan Pernikahanya dengan Klana
Sewandono atau Pujangga Anom inilah masyarakat kediri membuat kesenian jaranan.
Sedangkan di Ponorogo Muncul Reog. Dua kesenian ini sebenarnya memiliki akar
historis yang hampir sama. Seni jaranan ini diturunkan secara turun temurun
hingga sekarang ini.
Perkembangan
Kesenian Jaranan.
Sejarah kelam
memang pernah menimpa kesenian jaranan. Kesenian ini dilarang tampil oleh
pemerintah orde baru pada saat seusai pemberontakan PKI. Hal ini dikarenakan
adanya isu yang menyatakan bahwa para seniman pelaku jaranan terlibat dalam
organisasi internal PKI, padahal saat itu PKI dianggap sebagai musuh dan
pengkhianat negara. Banyak diantara seniman jaranan yang ditangkat dan menjadi tahanan
politik di masa itu. Beberapa diantaranya dibuang ke pulau buru. Akan tetapi
kini kesenian ini sudah bebas dipentaskan. Bahkan departemen pariwisata dan
industri kreatif memberikan apresiasi yang baik.
Saat ini, gerakan penari jaranan juga semakin
bervariasi. Pakem yang ditetapkan oleh jaranan Wijaya Putra sebagai perintis
adalah 24 gerakan, namun saat ini ada yang menggunakan 14 gerakan pakem
Joyoboyo. Namun yang paling sedikit gerakannya adalah pakem gerakan ronggolawe
yang hanya 5-6 gerakan saja. Ada pula jaranan buto yang merupakan variasi
kesenian jaranan dari daerah Banyuwangi. Menikmati tontonan ini memang
menngasyikkan, membuat kita bisa ikut bergoyang-goyang melihat gerakan penari
yang lincah dan memutar-mutar kuda kepang tersebut. Dengan alunan musik yang
rancak ditambah aksesori pakaian penari yang indah, ditambah dengan pecut yang
sering dihentakkan dan menimbulkan bunyi-bunyian.
Pada
perkembangan selanjutnya, tari Jaranan ini masih tetap hidup dan dilestarikan
di beberapa daerah di Jawa Timur. Salah satunya adalah kabupaten Kediri yang
menjadikan Tari Jaranan ini sebagai icon kebanggan mereka. Tarian ini masih
dilestarikan dan dikembangkan oleh beberapa sanggar seni yang ada disana.
Setiap sanggar memiliki ciri khas dan pakem tersendiri dalam penampilannya, hal
ini lah yang menjadikan Tari Jaranan ini kaya akan nilai seni. Tari Jaranan ini
juga selalu tampil memeriahkan berbagai acara seperti pernikahan, sunatan,
penyambutan tamu besar, festival budaya dan lain – lain. Kecintaan masyarakat
terhadap kesenian ini yang membuat kesenian ini tetap hidup sampai sekarang.
Pertunjukan
Kesenian Jaranan.
Dalam pertunjukannya, Tari Jaranan ini
dilakukan oleh sekelompok penari dengan pakaian prajurit dan menunggangi kuda
kepang. Sambil menunggangi kuda tersebut mereka menari dengan gerakan yang
dinamis dan selaras dengan music pengiringnya. Selain menari mereka juga
memainkan kuda kepang dengan gerakan yang variatif. Dalam pertunjukan Tari
Jaranan ini juga diiringi oleh berbagai music gamelan seperti kenong, kendang,
gong dan lain - lain. Dalam pertunjukan Tari Jaranan ini sangat kental akan
kesan magis dan nilai spiritualnya. Sehingga tidak jarang pada saat pertunjukan
para penari mengalami trance atau kesurupan. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan
masyarakat jawa pada jaman dahulu akan roh – roh para leluhur. Sehingga
masyarakat menjadikan Tari Jaranan ini sebagai alat komunikasi dengan leluhur
mereka.
Dalam Tari
Jaranan ini juga terdapat seorang pawang atau yang sering di sebut dengan
Gambuh. Gambuh disini bertugas untuk melakukan ritual, berkomunikasi dengan
leluhur dan menyembuhkan penari yang kesurupan. Pada saat pertunjukan, sang
gambuh membacakan mantra dan memanggil roh leluhur untuk memasuki raga sang
penari. Setelah roh tersebut masuk ke raga sang penari maka penari akan menari
tanpa sadarkan diri, karena raga sang penari sudah dikendalikan oleh roh yang
memasukinya. Mereka akan menari sambil melakukan berbagai atraksi seperti makan
kembang, makan pecahan kaca dan lain - lain. Tanpa merasa sakit mereka
melakukan atraksi sambil menari didampingi sang Gambuh. Hal ini lah yang
menjadi keunikan dari jaranan. Selain sebagai acara hiburan, tarian ini juga
sebagai ritual dan penghormatan terhadap leluhur mereka.[3]
Lagu Jaranan
Jaranan adalah lagu
daerah dari Jawa Tengah, Indonesia
Lirik
Jaranan, jaranan
jarané jaran Tèji
Sing numpak Mas
Ngabèhi, sing ngiring para abdi
Jrèk jrèk nong,
jrèk jrèk gung jrèk è jrèk turut lurung
Gedebuk krincing
gedebuk krincing thok thok gedebuk jedhèr
Gedebuk krincing
gedebuk krincing thok thok gedebuk jedhèr.
Karya : Ki Hadi
Sukatno.
0 komentar:
Posting Komentar